Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Pemerkosaan Dianggap Persetubuhan Anak, Apakah "Victim Blaming"?

Kompas.com - 05/06/2023, 10:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Wujud pemaksaan dalam kejahatan pemerkosaan, tidak selalu melalui fisik, bisa juga dipaksa lewat psikis”.- Abdul Fickar Hadjar, Pakar Hukum Pidana.

TUDUHAN atau pemberian stigma buruk dalam kasus tindak asusila dan kekerasan seksual masih sering dilekatkan pada si korban sebagai triger alias pemicu terjadinya kasus, atau dipersalahkan sebagai suatu hubungan mau sama mau tanpa paksaan.

Sebagaimana kasus yang menimpa seorang remaja putri 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah. Namun tuduhan itu menuai berbagai tanggapan kritis.

Persetubuhan anak, perkosaan dan Victim Blaming

Korban mengalami kejahatan tindak asusila, ketika menjadi relawan banjir bandang di Desa Torue, Kecamatan Torue, Parimo, pada 2022 lalu.

Ketika Ia bekerja di dapur kebencanaan, tak disangka salah seorang dari pelayan di sana ternyata menjalankan praktik prostitusi.

Hal ini juga yang membuat korban kemudian mengalami kejahatan seksual masif, yang tidak hanya terjadi sekali saja, namun dialami korban secara berulang selama sepuluh bulan, sejak April 2022 hingga Januari 2023, di tempat yang berbeda dan dilakukan oleh pelaku berbeda.

Persoalan menjadi sorotan tajam ketika Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho menegaskan, kasus tersebut bukanlah pemerkosaan, melainkan persetubuhan di bawah umur.

Kapolda Sulteng juga menyebut, tidak ada unsur paksaan oleh para tersangka terhadap korban. Korban dibujuk para tersangka untuk melakukan persetubuhan.

Polemik memanas terutama dari kalangan ahli pidana, sebagaimana disuarakan Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.

Ia menekankan kasus tersebut tetaplah pemerkosaan. Pasalnya, wujud pemaksaan tidak selalu melalui fisik, bisa juga dipaksa lewat psikis.

Apalagi kondisi korban merupakan anak di bawah umur, dengan kondisi ekonomi yang kurang dan ia juga bertanggungjawab membiayai dua adiknya dalam kondisi keluarga yang telah bercerai.

Fickar menyentil Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho yang dianggap kurang kompeten dalam menangani kasus karena perspektifnya yang sempit.

Penegak hukum semestinya melengkapi pengetahuan dengan ilmu penunjang, seperti sosiologi dan antropologi. Apalagi pemerkosaan atau tindak asusila yang dialami korban terjadi dalam pola yang tidak seimbang.

Para tersangka yang telah ditangkap sebagai pelaku di antaranya berasal dari berbagai profesi, mulai dari guru, kepala desa, hingga oknum polisi. Mereka sejatinya memahami bahwa apa yang dilakukan adalah tindakan kejahatan.

Pernyataan Kapolda membawa konsekuensi psikologis bagi si korban, dan juga publik yang merasa terganggu, seolah-olah korban juga berperan sebagai pelaku.

Sebagian netizen terbelah dan menilai adanya dugaan korban kemungkinan berperilaku negatif. Sikap mereka kemudian cenderung mengarah pada bentuk persekusi, seolah korban berkontribusi terhadap kesalahan atau kejahatan hingga terjadinya kasus atas dasar tekanan ekonomi.

Aktivis Perempuan dan Konsultan Gender, Tunggal Pawestri berpendapat bahwa fenomena victim blaming, perilaku publik atau pelaku menyalahkan korban masih jadi kultur.

Victim blaming tak hanya soal mengkritisi penampilan atau perilaku korban, apapun bisa jadi triger pemicu korban dipersalahkan. Fenomena victim blaming memang sangat sulit dihentikan.

The Canadian Resource Center for Victims of Crime menyebutkan beberapa jenis tindak kejahatan tempat victim blaming yang kerap ditemukan, yakni kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, tindak pidana yang terjadi kepada pekerja seks, dan pembunuhan.

Bagaimana akhiri ‘Victim Blaming’?

Dalam kasus di mana korban “dibujuk” dan diajak secara paksa oleh pelaku melalui bujukan hadiah atau pekerjaan, bahkan akan dinikahi, menjadi dasar dimulainya intimidasi victim blaming.

Pernyataan dan pertanyaan intimidatif masih kerap terdengar dalam ruang publik kita ketika berbicara soal kekerasan seksual.

Si empunya pertanyaan bisa siapa saja: masyarakat, atasan kita, rekan kerja, teman, bahkan keluarga. Asumsi itu muncul karena dugaan korban sebagai pemicunya.

Asumsi sepihak itu salah satu bukti bahwa pelecehan seksual, atau budaya pemerkosaan (rape culture) kian lincah menjajah nalar.

Rape culture tumbuh pada lingkungan sosial ketika kekerasan seksual dinormalisasi dan dibenarkan secara terus menerus.

Serangan victim blaming tak hanya tidak sensitif terhadap kesulitan korban, tapi cenderung menyudutkan dan menyalahkan korban. Kasus paling sering muncul adalah saat interogasi ketika korban mengadukan kasus kekerasan seksual ke polisi.

Seperti pertanyaan pakaian yang dipakai korban, mengapa korban berpergian sendiri, mengapa korban menerima ajakan, mengapa mau melakukan secara berulang dan seterusnya yang menginitimidasi korban.

Sejatinya victim blaming secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu sikap atau perilaku yang menunjukkan bahwa korban, bukannya pelaku, yang diminta untuk lebih bertanggung jawab atas penyerangan atau kekerasan yang terjadi pada dirinya.

Victim blaming menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih belum dianggap sebagai permasalahan sosial. Individu dibebankan untuk menjaga diri dan mengupayakan agar kekerasan seksual tidak terjadi pada dirinya. Dan kasus staycation bisa menjadi pembelajaran penting bagi publik.

Mengapa victim blaming muncul, karena kita memercayai hipotesis bahwa kita telah hidup dalam tatanan sosial yang sudah adil (just world hypothesis).

Artinya, seseorang yang berpakaian “tidak sesuai porsi” dianggap sebagai korban yang “mengumpankan” diri. Seolah menjustifikasi para pelaku sebagai pihak yang tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan.

Dalam kasus penolakan Khabib Nurmagomedov yang mengkritik keras keberadaan gadis ring alias ring girl atau round girl, karena alasan penghormatan kepada perempuan yang menurutnya dapat menjadi stimulan buruk timbulnya kejahatan.

Khabib menghilangkan adanya gadis ring dalam Eagle Fighting Championship miliknya. Namun jika tetap saja ada ring girl, tidak menjadi pembenaran pelaku melakukan kejahatan seksual kepada perempuan.

Problem sosial

Jacquelyn Knoblock, akademisi yang juga penyintas kekerasan seksual dari University of Massachusetts Boston, menceritakan kisahnya. Knoblock pada awalnya, menyalahkan dirinya sendiri atas kekerasan seksual yang terjadi.

Memang kekerasan seksual adalah hal yang sangat personal bagi siapa pun yang mengalaminya. Mestinya korban tidak harus menanggung sendiri permasalahannya karena kekerasan seksual sudah seharusnya menjadi masalah sosial (publik).

Selama kekerasan seksual dipandang sebagai persoalan individu saja, korban akan menanggung beban berat sendirian.

Jika kekerasan seksual dilihat sebagai isu sosial, korban akan terhindar dari victim blaming dan semua pihak akan terdorong untuk berjuang melawan kekerasan seksual karena menjadi permasalahan publik.

Peristiwa kekerasan seksual bukan konstruksi sederhana yang sekadar bisa dipahami hanya dengan mengukur sifat psikologis individu, baik korban dan pelaku yang terlibat.

Kita juga harus melihat keterkaitan seperti komunikasi, identitas, peran, struktur sosial yang lebih besar seperti ekspektasi peran gender, hingga budaya dan kekuasaan dari pihak yang terlibat, termasuk cara pandang individu dalam masyarakat dalam persoalan kekerasan seksual.

Hal ini penting agar kita dapat memandang pelecehan dan kekerasan seksual sebagai fenomena sosial yang lebih besar.

Cara pandang sebagai solusi mengatasi masalah victim blaming dengan menyalahkan korban, mengharuskan kita berpikir menggunakan imajinasi sosiologis (sociological imagination), seperti yang diperkenalkan oleh sosiolog Charles Wright Mills dalam bukunya, "The Sociological Imagination" (1959).

Imajinasi sosiologis adalah kemampuan untuk melihat keterkaitan antara kehidupan kita sebagai individu dengan kekuatan sosial yang lebih besar.

Imajinasi sosiologis melihat kemampuan manusia dengan mengaitkan hubungan antara permasalahan individu dan situasi sosial yang ada di lingkungannya.

Misalnya asumsi mengapa orang menganggur? Bisa jadi bukan karena ia tak mau, tapi karena resesi menggerus ruang kerja dan menimbulkan persaingan yang kuat.

Ketika kita memosisikan sebagai pembela korban dalam kasus tindak asusila pemerkosaan, para korban lainnya akan memiliki keberanian untuk bertindak melaporkan kasusnya atau melaporkan pelakunya agar mendapat penanganan hukum sesuai porsinya.

Jika kita malah bertindak sebagai pelaku victim blaming—menyalahkan pelaku, maka akan muncul ketakutan bahwa “melaporkan” akan sama saja membuka aib! Maka lingkaran setan kasus tak akan pernah berhenti berputar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com