Ini artinya, terdapat standar ganda dalam sistem proporsional daftar calon terbuka yang diterapkan pada pemilu 2009.
Baca juga: Soal Pernyataan Informasi Putusan MK, Denny Indrayana Bantah Bocorkan Rahasia Negara
Di satu sisi, pemilih dapat mencoblos caleg pilihannya di surat suara. Namun, partai politik tetap berwenang menentukan siapa kadernya di DPR melalui nomor urut. Kewenangan besar partai politik ini merupakan sesuatu yang khas dalam sistem proporsional daftar calon tertutup.
"Upaya pemohon menjadi sia-sia apabila hanya mendapatkan suara 29 persen dari BPP. Sebab jika mengacu pada pasal a quo maka penentuan untuk dapat menjadi anggota legislatif akan dikembalikan pada nomor urut," kata Sholeh dalam permohonannya.
"Begitu juga, jika pemohon mendapatkan suara di atas 30 persen, tetap saja jika di nomor urut lebih kecil yang suaranya 30 persen. Penentuannya dikembalikan pada nomor urut kecil yang mendapatkan suara 30 persen," lanjutnya.
Sholeh cs keberatan karena dengan beleid ini, penentuan caleg bukan lagi murni pilihan rakyat, tetapi besar faktor kesukaan dari petinggi partai politik.
Baca juga: MK Bantah soal Putusan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup yang Bocor
Gugatan ini berlangsung di tengah sikap yang berlainan antarpartai politik. Baru partai penguasa saat itu, Demokrat, yang secara resmi mendukung penuh gugatan agar caleg murni terpilih berdasarkan suara terbanyak. Begitu pun Hanura, Golkar, dan PAN.
Pandangan Demokrat juga tercermin dari pandangan SBY selaku presiden, yang disampaikan secara resmi selaku pihak terkait kepada MK.
"Siapapun yang ingin jadi anggota DPR atau DPD, berjuang untuk menyampaikan pandangan-pandangannya, konsep-konsepnya, komitmennya kepada rakyat. Dengan demikian rakyat yakin bahwa yang dipilih berjuang untuk kepentingan mereka dan bukan untuk kepentingan partai semata," kata SBY, dikutip laman setneg.go.id.
Dalam putusannya, MK yang saat itu diketuai Mohammad Mahfud MD memutus Pasal 214 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 inkonstitusional dan tak berlaku. Permohonan Soleh, Sutjipto, Septi, dan Jose dikabulkan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai pasal itu inkonstitusional karena "bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat" dalam konstitusi.
"Jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil," tulis Mahfud dkk dalam pertimbangan putusannya.
Mereka menyinggung, dalam pemilu presiden, kandidat yang menang adalah mereka yang meraup suara terbanyak, dan tak ada peran nomor urut di situ.
"Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut, berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya," lanjut mereka.
Putusan ini membuat pemilu legislatif pada tahun 2009 menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka secara murni.
Artinya, caleg yang terpilih sebagai anggota DPR RI, maupun anggota DPRD, memang berdasarkan jumlah suara. Nomor urut tak lagi punya peran sentral.