JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai muatan dalam proses pemulihan terhadap keluarga korban serta penyintas dalam sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu yang dilakukan pemerintah terindikasi keliru.
Menurut catatan Koordinator Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyanti, selama ini model pemulihan yang digadang-gadang berfokus pada korban malah nyatanya terdapat indikasi bahwa muatannya menyalahi prinsip keadilan dengan tidak berpihak kepada korban sebagai pemangku utama kepentingan.
"Kami juga mendapati, pemerintah di sejumlah kesempatan diketahui membuat peraturan dan kegiatan yang seolah ingin pelanggaran HAM berat selesai, namun tidak sesuai dengan standar penegakan HAM yang berlaku secara universal," kata Fatia dalam keterangan pers yang dikutip pada Senin (8/5/2023).
Berdasarkan pemantauan KontraS, kata Fatia, terdapat proses pemulihan terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu oleh negara yang melenceng jauh dari hak korban sesungguhnya.
Baca juga: Kontras Desak Pemerintah Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat Lewat Proses Hukum
Contohnya seperti Deklarasi Damai di Talangsari Lampung 2019 yang kemudian dinyatakan maladministrasi oleh Ombudsman RI.
Fatia melanjutkan, contoh penyimpangan lainnya dalam proses pemulihan kasus pelanggaran HAM adalah menggantungkan korban pada syarat-syarat lain yang sama sekali tidak memudahkan korban untuk mengaksesnya.
Yakni seperti Undang–Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menggantungkan pemulihan korban pada adanya Terdakwa yang diputus bersalah oleh Pengadilan, dan Undang–Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi) yang menggantungkan pemulihan korban pada amnesti terhadap pelaku.
"Selain itu, beberapa pemulihan seperti rehabilitasi fisik, psikologis, jaminan kesehatan, peningkatan keterampilan serta beasiswa bahkan telah dikerjakan oleh LPSK jauh sebelum Tim PPHAM (Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu) dibentuk," ucap Fatia.
Fatia mengatakan, korban dalam kasus pelanggaran HAM berat adalah orang-orang yang telah mengalami penderitaan akibat penyalahgunaan kekuasaan (commission/omission Badan/Pejabat Pemerintahan yang melawan hukum).
Selain itu, kata Fatia, menurut hukum yang berlaku universal, negara sebagai duty bearer (pengemban tanggung jawab) tentu memiliki serangkaian kewajiban yang harus dilakukan secara holistik terhadap pelanggaran HAM berat.
Tugas itu adalah kewajiban mengingat (duty to remember), kewajiban untuk menuntut pidana (duty to prosecute), kewajiban untuk mengembalikan keadaan korban (duty to redress) serta kewajiban untuk menjamin tak ada lagi repetisi pelanggaran HAM (non-recurrence).
Baca juga: Jokowi Didesak Minta Maaf kepada Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menyatakan pemerintah menolak menyampaikan permintaan maaf atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Hal itu disampaikan Mahfud dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan usai rapat membahas kelanjutan penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (2/5/2023) lalu.
Mahfud menyatakan pemerintah tidak meminta maaf atas 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi penyelesaian non yudisial.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).
Baca juga: Mahfud: Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Ada 12, Tidak Bisa Ditambah
"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah," tegasnya.
Selain itu, peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku. Sehingga, lanjut Mahfud, pemerintah fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk 12 peristiwa.
"Dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang (UU) menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM," ungkapnya.
"Dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Nah saya ingin masyarakat paham perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat," katanya.
Baca juga: Mahfud Tegaskan Pemerintah Tak Akan Minta Maaf Atas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mencari pelaku dalam proses penyelesaian non yudisial untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebab pemerintah sudah memutuskan adanya penyelesaian non yudisial yang lebih menitikberatkan kepada korban.
"Jadi ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial ini. Karena itu urusan Komnas HAM dan DPR," tuturnya.
Mahfud menjelaskan, apabila menyangkut pelakunya, maka hal itu berkaitan dengan penyelesaian secara yudisial (hukum).
"Nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah," tegas Mahfud.
Baca juga: Mahfud MD: Kami Tak Cari Pelaku Kasus Pelanggaran HAM Berat
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Hal itu disampaikannya setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023). Jokowi menyatakan, sudah membaca secara seksama laporan tersebut.
"Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim PPHAM yang berat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi.
Atas peristiwa itu, Jokowi mengaku menyesalkannya.
Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Kepala Negara:
(Penulis : Dian Erika Nugraheny | Editor : Dani Prabowo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.