Seperti biasa kendaraan dipinggirkan untuk mengurus denda. Di sana saya menyaksikan transaksi ilegal para pengendara yang terjerat razia diharuskan membayar, namun tidak dilakukan melalui rekening, tapi bayar di tempat.
Ketika itu saya protes di depan para korban razia lainnya, razia ini ilegal. Atas dasar bukti yang saya lihat. Saat itu para oknum polisi meradang.
Ketika oknum polisi itu bereaksi emosi, saya sampaikan ketentuan itu kan baru saja dikeluarkan Kapolda tiga hari lalu di media.
Setiap temuan harus dilaporkan, dan ketika itu saya juga sudah mengantongi nomor pengaduannya, sehingga saya tunjukkan karena katanya terhubung langsung dengan petinggi Polri.
Saya sampaikan tak bersedia membayar di tempat, apalagi dengan kuitansi bekas, dan bersedia membayar denda dengan kuitansi baru dan harus melalui rekening bank khusus yang bekerjasama dengan pihak Polri.
Akhirnya saya digiring dan dipertemukan dengan komandan razia. Ketika itu saya ditanyakan soal pekerjaan, karena memang saya membantu freelance sebuah radio dan menjadi penulis freelance media, saya jawab apa adanya.
Tanpa diduga mereka tiba-tiba menyalami saya dan menyatakan jika “kita” punya porsi kerja masing-masing, jadi tolong saling membantu!
Surat-surat kendaraan yang disita diserahkan dan saya diminta meninggalkan lokasi secepatnya. Lolos dari lubang jarum!
Namun bagaimana dengan puluhan atau ratusan korban razia lainnya? Terutama para mahasiswa, paling tidak seperti yang saya saksikan Rp 50.000 tak kurang melayang ke kantong kas ilegal. Kejadian yang (dulu) jamak terjadi di luar aturan Polri.
Namun masa itu sudah berlalu dan telah diminimalkan, terutama ketika institusi Polri mencanangkan Program Polri Presisi—Polri yang makin canggih, tapi juga makin berhati nurani.
Dan dalam perbaikan sistemnya, salah satunya dengan menggunakan sistem ETLE berbasis komputerisasi.
Kasus kenakalan oknum Polri yang merusak institusi itu kebetulan terjadi di depan mata, di depan publik pula, bagaimana dengan kasus yang kasat mata?
Bagaimana dengan pernyataan seperti diungkapkan Teddy Minahasa, soal pengakuan bahwa bukan hal aneh oknum polisi menggunakan sabu sitaan.
Demikian juga dengan pernyataan bahwa tidak seperti halnya Ferdy Sambo yang merusak CCTV dalam kasus KM50 dan kasus kematian Brigadir Joshua, Teddy mengaku justru menyerahkan bukti CCTV kepada tim penyidik.
Meskipun pernyataan itu hanya sebagai pembanding kasusnya dengan kasus kejahatan pelaku lain sebelumnya, namun pernyataannya itu menguatkan kekhawatiran publik bahwa banyak kejahatan yang selama ini mungkin telah dianggap selesai.