Bahkan di tingkat institusi Polri, kasus itu mungkin dianggap sebagai keberhasilan Polri mengungkap kejahatan, namun jika ditelusuri ulang bukan tidak mungkin, akan banyak sekali kasus yang tersembunyi.
Praduga ini bukan tak beralasan, dengan perilaku oknum, yang paling tidak merepresentasikan institusinya menjadikan institusi Polri sendiri rusak nama baiknya. Begitu juga dengan perilaku arogansi yang jelas terjadi di lapangan.
Nilai-nilai Tribrata memang sulit jika sepenuhnya dipaksakan ditaati oleh setiap anggota Polri. persis seperti butir-butir Pancasila yang ditanamkan kepada setiap warga Negara, terutama para pejabat Negara, namun realitasnya justru merekalah banyak merangkap profesi “pejabat-penjahat” yang sesungguhnya.
Memang polisi bukanlah mesin seperti robot atau manusia purnarupa. Mereka memiliki hati nurani.
Pada dasarnya setiap manusia memiliki dasar dari niat jahat-delik (actus reus), sebaliknya juga ada means rea, sikap batin pelaku saat melakukan kejahatan, pertanggungjawaban-- itu kodrat bawaan manusia.
Sebenarnya, ketika bicara tentang Polri dengan kewajibannya, sangat kompleks. Namun saat melayani masyarakat punya prinsip seimbang antara hukum dan moral. Idealnya, tindakannya menjadi terukur, tidak sembarangan, bertanggung jawab sesuai hukum.
Lebih memilih mencegah, menghambat, menghentikan tindak kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa, dan kehormatan kesusilaan masyarakat yang dilindunginya, daripada bertindak represif.
Wujudnya nilai-nilai diskresi. Ketika mendapat wewenang, pertimbangannya tidak sepele. Di antara batas hukum dan moral. Bertindak tidak boleh gegabah, bahkan harus sesuai legalitas, proporsionalitas, preventif, nesesitas, bukan pamer kuat dan kuasa.
Maka sebelum tembakan ke arah tubuh pelaku kejahatan, didahului tembakan ke udara, dan jika peluru dilesatkan akan dipilih area yang tidak langsung mematikan, kecuali kondisi darurat.
Di sanalah komitmen etika profesi nilai-nilai Tribrata mestinya dijaga dengan baik melalui profesionalitas sikap. Karena polisi memang bukan cyborg apalagi robot!
Belakangan semakin banyak saja kasus para anggota Polri sebagai oknum yang terbongkar kejahatannya. Peran publik sebagai kontrol sosial tak lepas dari keberhasilan mendukung upaya institusi Polri mereformasi dirinya.
Peran media sosial sebagai mediumnya juga efektif layaknya whistleblower yang meniupkan "peluang siaga kejahatan" hingga bisa didengar oleh institusi di kantor Pusat, termasuk oleh Kapolri.
Namun tetap saja pekerjaan rumah institusi Polri masih sangat luar biasa, relasi kuasa "kerajaan-kerajaan kecil pungli" seperti pertambangan, niaga BBM, perkebunan, perdagangan gelap, hingga transaksi narkoba dan trafficking masih kelam menyelimuti institusi Polri sebagai "godaan" tak tertahankan.
Semakin banyak kejahatan terkuak berimplikasi pada minimal dua hal; semakin bersih institusi, namun juga semakin luntur kepercayaan publik terhadapnya.
Seperti halnya agama sebagai sebuah keyakinan, seringkali justru penganutnya sendirilah yang melakukan kejahatan dan dosa mengotori sakral dan profannya agama tadi.
Semoga ada upaya makin tegas dan lebih serius dari Kapolri beserta jajarannya membersihkan institusinya. Publik tentu akan dengan senang hati memantaunya dari luar.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.