Salin Artikel

Polisi Bukan "Cyborg", Bukan Juga Monster!

Dredd atau Robocop adalah cyborg--cybernetic organism. Robocop adalah manusia setengah organik dan biomekatronik, berbadan manusia, namun di dalamnya “tersisa” jiwa dan nurani Alex Murphy.

Polisi yang jadi korban ketika menjalankan tugas kepolisian dan menjadi prototype polisi masa depan, superhero cyberpunk bernama “Robocop”.

Di dalam mesin canggih itu ada hati nurani, sehingga ia tak akan melakukan tindak kejahatan, kecuali jika sistem dalam tubuhnya korsleting.

Sedangkan manusia asli dalam tubuhnya yang “canggih” dilengkapi dengan nurani dan akal sehat, justru lebih sering "korsleting".

Mistifikasi atas perilaku jahat

Jika anak-anak selepas Lebaran masuk sekolah terima rapor Ujian Tengah Semester, Polri justru diuji dengan kemunculan kasus anggota Polrinya yang nakal secara bertubi-tubi.

Meski polisi bukanlah militer, namun model dan sistem pelatihannya yang sangat disiplin dan keras layaknya militer, justru “mengeraskan” hati sebagian besar para anggotanya. Sifat keras, tegas itu memang dibutuhkan sesuai porsi tugasnya.

Namun pada akhirnya sifat dan kekerasan seperti menjadi “tabiat” yang melekat pada oknum Polri.

Bukan hanya karena alasan cakupan kerjanya yang berurusan dengan ketertiban dan keamanan menjadikan mereka seolah juga memiliki “kelas” yang lebih tinggi dari sipil.

Maka bukan hal aneh, jika kita berurusan dengan pihak kepolisian, ada saja perilaku nakal oknum yang dipraktikkan.

Memang kita tidak dapat menjustifikasi semua anggota Polri berperilaku buruk. Mistifikasi peranan alamiah yang dilekatkan publik kepada polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, dengan keharusan memiliki ketegasan sikap sebagai anggota Polri juga menjadi salah satu yang mengecoh perilaku banyak oknum memainkan kuasanya secara sembrono.

Mistifikasi yang disebut kurang lebih sebagai sebuah euforia berlebihan oleh publik dalam mengidealkan berfungsinya peranan Polri di dalam masyarakat.

Pengalaman pribadi ketika Polri baru saja mengeluarkan ultimatum agar tidak dilakukan razia di jalanan secara “ilegal”. Tiga hari setelah pengumuman keluar, penulis berkendara membawa anak-anak sekolah untuk kegiatan lapang.

Ketika itu seluruh surat-surat kendaraan lengkap, begitu juga dengan atribut kendaraan. Hanya saja saya tidak mengenakan safety belt, karena kebiasaan di kota di mana penulis tinggal masih belum menjadi aturan yang umum dijalankan secara ketat.

Saat razia, dalam jarak 10 meter dari area razia, beberapa pengendara mobil yang kami lewati sama sekali tidak menggunakan safety belt, namun lolos razia. Dan atas inisiatif pribadi karena ada razia saya menarik safety belt, dan kebetulan proses itu terlihat oleh salah seorang petugas.

Seperti biasa kendaraan dipinggirkan untuk mengurus denda. Di sana saya menyaksikan transaksi ilegal para pengendara yang terjerat razia diharuskan membayar, namun tidak dilakukan melalui rekening, tapi bayar di tempat.

Ketika itu saya protes di depan para korban razia lainnya, razia ini ilegal. Atas dasar bukti yang saya lihat. Saat itu para oknum polisi meradang.

Ketika oknum polisi itu bereaksi emosi, saya sampaikan ketentuan itu kan baru saja dikeluarkan Kapolda tiga hari lalu di media.

Setiap temuan harus dilaporkan, dan ketika itu saya juga sudah mengantongi nomor pengaduannya, sehingga saya tunjukkan karena katanya terhubung langsung dengan petinggi Polri.

Saya sampaikan tak bersedia membayar di tempat, apalagi dengan kuitansi bekas, dan bersedia membayar denda dengan kuitansi baru dan harus melalui rekening bank khusus yang bekerjasama dengan pihak Polri.

Akhirnya saya digiring dan dipertemukan dengan komandan razia. Ketika itu saya ditanyakan soal pekerjaan, karena memang saya membantu freelance sebuah radio dan menjadi penulis freelance media, saya jawab apa adanya.

Tanpa diduga mereka tiba-tiba menyalami saya dan menyatakan jika “kita” punya porsi kerja masing-masing, jadi tolong saling membantu!

Surat-surat kendaraan yang disita diserahkan dan saya diminta meninggalkan lokasi secepatnya. Lolos dari lubang jarum!

Namun bagaimana dengan puluhan atau ratusan korban razia lainnya? Terutama para mahasiswa, paling tidak seperti yang saya saksikan Rp 50.000 tak kurang melayang ke kantong kas ilegal. Kejadian yang (dulu) jamak terjadi di luar aturan Polri.

Namun masa itu sudah berlalu dan telah diminimalkan, terutama ketika institusi Polri mencanangkan Program Polri Presisi—Polri yang makin canggih, tapi juga makin berhati nurani.

Dan dalam perbaikan sistemnya, salah satunya dengan menggunakan sistem ETLE berbasis komputerisasi.

Gajah tak tampak, apalagi kuman?

Kasus kenakalan oknum Polri yang merusak institusi itu kebetulan terjadi di depan mata, di depan publik pula, bagaimana dengan kasus yang kasat mata?

Bagaimana dengan pernyataan seperti diungkapkan Teddy Minahasa, soal pengakuan bahwa bukan hal aneh oknum polisi menggunakan sabu sitaan.

Demikian juga dengan pernyataan bahwa tidak seperti halnya Ferdy Sambo yang merusak CCTV dalam kasus KM50 dan kasus kematian Brigadir Joshua, Teddy mengaku justru menyerahkan bukti CCTV kepada tim penyidik.

Meskipun pernyataan itu hanya sebagai pembanding kasusnya dengan kasus kejahatan pelaku lain sebelumnya, namun pernyataannya itu menguatkan kekhawatiran publik bahwa banyak kejahatan yang selama ini mungkin telah dianggap selesai.

Bahkan di tingkat institusi Polri, kasus itu mungkin dianggap sebagai keberhasilan Polri mengungkap kejahatan, namun jika ditelusuri ulang bukan tidak mungkin, akan banyak sekali kasus yang tersembunyi.

Praduga ini bukan tak beralasan, dengan perilaku oknum, yang paling tidak merepresentasikan institusinya menjadikan institusi Polri sendiri rusak nama baiknya. Begitu juga dengan perilaku arogansi yang jelas terjadi di lapangan.

Nilai-nilai Tribrata memang sulit jika sepenuhnya dipaksakan ditaati oleh setiap anggota Polri. persis seperti butir-butir Pancasila yang ditanamkan kepada setiap warga Negara, terutama para pejabat Negara, namun realitasnya justru merekalah banyak merangkap profesi “pejabat-penjahat” yang sesungguhnya.

Actus Reus lawan nurani

Memang polisi bukanlah mesin seperti robot atau manusia purnarupa. Mereka memiliki hati nurani.

Pada dasarnya setiap manusia memiliki dasar dari niat jahat-delik (actus reus), sebaliknya juga ada means rea, sikap batin pelaku saat melakukan kejahatan, pertanggungjawaban-- itu kodrat bawaan manusia.

Sebenarnya, ketika bicara tentang Polri dengan kewajibannya, sangat kompleks. Namun saat melayani masyarakat punya prinsip seimbang antara hukum dan moral. Idealnya, tindakannya menjadi terukur, tidak sembarangan, bertanggung jawab sesuai hukum.

Lebih memilih mencegah, menghambat, menghentikan tindak kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa, dan kehormatan kesusilaan masyarakat yang dilindunginya, daripada bertindak represif.

Wujudnya nilai-nilai diskresi. Ketika mendapat wewenang, pertimbangannya tidak sepele. Di antara batas hukum dan moral. Bertindak tidak boleh gegabah, bahkan harus sesuai legalitas, proporsionalitas, preventif, nesesitas, bukan pamer kuat dan kuasa.

Maka sebelum tembakan ke arah tubuh pelaku kejahatan, didahului tembakan ke udara, dan jika peluru dilesatkan akan dipilih area yang tidak langsung mematikan, kecuali kondisi darurat.

Di sanalah komitmen etika profesi nilai-nilai Tribrata mestinya dijaga dengan baik melalui profesionalitas sikap. Karena polisi memang bukan cyborg apalagi robot!

Belakangan semakin banyak saja kasus para anggota Polri sebagai oknum yang terbongkar kejahatannya. Peran publik sebagai kontrol sosial tak lepas dari keberhasilan mendukung upaya institusi Polri mereformasi dirinya.

Peran media sosial sebagai mediumnya juga efektif layaknya whistleblower yang meniupkan "peluang siaga kejahatan" hingga bisa didengar oleh institusi di kantor Pusat, termasuk oleh Kapolri.

Namun tetap saja pekerjaan rumah institusi Polri masih sangat luar biasa, relasi kuasa "kerajaan-kerajaan kecil pungli" seperti pertambangan, niaga BBM, perkebunan, perdagangan gelap, hingga transaksi narkoba dan trafficking masih kelam menyelimuti institusi Polri sebagai "godaan" tak tertahankan.

Semakin banyak kejahatan terkuak berimplikasi pada minimal dua hal; semakin bersih institusi, namun juga semakin luntur kepercayaan publik terhadapnya.

Seperti halnya agama sebagai sebuah keyakinan, seringkali justru penganutnya sendirilah yang melakukan kejahatan dan dosa mengotori sakral dan profannya agama tadi.

Semoga ada upaya makin tegas dan lebih serius dari Kapolri beserta jajarannya membersihkan institusinya. Publik tentu akan dengan senang hati memantaunya dari luar.

https://nasional.kompas.com/read/2023/05/06/09523961/polisi-bukan-cyborg-bukan-juga-monster

Rekomendasi untuk anda

Terkini Lainnya

Presiden Tunjuk Wakil Pemerintah untuk Bahas Revisi UU Desa bersama DPR

Presiden Tunjuk Wakil Pemerintah untuk Bahas Revisi UU Desa bersama DPR

Nasional
KPK Cecar Wamenkumham Soal Dugaan Terima Uang dalam Pengurusan AHU Perusahaan Tambang

KPK Cecar Wamenkumham Soal Dugaan Terima Uang dalam Pengurusan AHU Perusahaan Tambang

Nasional
Ganjar Anggap Cara Ini Bisa Kontrol Harga Sembako dari Hulu ke Hilir

Ganjar Anggap Cara Ini Bisa Kontrol Harga Sembako dari Hulu ke Hilir

Nasional
Gaduh Format Debat Capres-Cawapres 2024, Bagaimana Aturan Menurut UU?

Gaduh Format Debat Capres-Cawapres 2024, Bagaimana Aturan Menurut UU?

Nasional
Puan Pimpin Rapat Penutupan Masa Sidang DPR, Dihadiri 290 Anggota

Puan Pimpin Rapat Penutupan Masa Sidang DPR, Dihadiri 290 Anggota

Nasional
Terima Keluhan Tukang Ojek, Ganjar Soroti Antrean Panjang SPBU di Balikpapan

Terima Keluhan Tukang Ojek, Ganjar Soroti Antrean Panjang SPBU di Balikpapan

Nasional
Ganjar Anggap Pemerintah Harus Kendalikan Harga Komoditas yang Naik Tiap Akhir Tahun

Ganjar Anggap Pemerintah Harus Kendalikan Harga Komoditas yang Naik Tiap Akhir Tahun

Nasional
Ganjar Sebut Indonesia Hadapi Problem Serius Impor Kedelai

Ganjar Sebut Indonesia Hadapi Problem Serius Impor Kedelai

Nasional
Pemerintah Segera Luncurkan Buku Putih Strategi Pengembangan Ekonomi Digital Indonesia 2030

Pemerintah Segera Luncurkan Buku Putih Strategi Pengembangan Ekonomi Digital Indonesia 2030

Nasional
Tinjau Pembangunan Bendungan Mbay, Jokowi: Ini Strategi Besar untuk Kedaulatan Pangan

Tinjau Pembangunan Bendungan Mbay, Jokowi: Ini Strategi Besar untuk Kedaulatan Pangan

Nasional
Resmikan Posko Pemenangan di Sumbar, Muhaimin Targetkan Menang Besar di Kandang Prabowo

Resmikan Posko Pemenangan di Sumbar, Muhaimin Targetkan Menang Besar di Kandang Prabowo

Nasional
Firli Bahuri Datangi Dewas, Kembali Jalani Pemeriksaan Etik Pemerasan SYL

Firli Bahuri Datangi Dewas, Kembali Jalani Pemeriksaan Etik Pemerasan SYL

Nasional
Kasus Pneumonia Meningkat, Kemenkes Imbau Warga Pakai Masker di Ruang Publik

Kasus Pneumonia Meningkat, Kemenkes Imbau Warga Pakai Masker di Ruang Publik

Nasional
Almarhum Doni Monardo Dinilai Layak Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Almarhum Doni Monardo Dinilai Layak Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Nasional
Jubir PKB: Kami Setuju Pembahasan RUU DKJ, asalkan…

Jubir PKB: Kami Setuju Pembahasan RUU DKJ, asalkan…

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke