MENJELANG Pemilu 2024, banyak pihak merasa resah atas polarisasi yang semakin tajam di masyarakat. Ini tentu berkaca pada Pemilu 2019, di mana masyarakat mengalami kerasnya pembicaraan di media sosial tentang para kontestan yang berlaga.
Hoax dan fitnah terus disebarkan untuk menciptakan kebencian dan ketakutan. Berbagai isu dimunculkan seperti antek PKI, antek China, pengkafiran, tuduhan radikal, antek khalifah, dan lainnya.
Keributan tentang isu-isu ini bahkan mengalahkan esensi dalam memilih Presiden atau anggota legislatif. Tidak terjadi penajaman perbedaan antara kontestan dalam hal gagasan, rekam jejak, kapasitas ataupun karakter.
Jikapun ada, hanyalah insinuasi tentang kebenaran ijazah Jokowi atau keterlibatan Prabowo dalam pelanggaran HAM.
Menjelang tahun 2024, dengan kandidat-kandidat capres yang berbeda, isu-isu yang sama masih memenuhi ruang publik. Malah bertambah dengan rasisme terhadap Arab/Yaman karena Anies Baswedan memiliki garis keturunan Arab.
Apa yang membuat kualitas percakapan publik saat kontestasi sedemikian rendahnya? Mengapa siapapun kandidatnya, bahan bakar kebencian dan ketakutannya tetap sama?
Dalam observasi saya, ini adalah fenomena yang dikenal sebagai cultural war. Suatu konflik antarkelompok masyarakat untuk beroleh dominasi akan nilai-nilai, sikap, beliefs, dan perilaku dalam bermasyarakat.
Suatu keniscayaan ketika masyarakatnya berasal dari kelompok-kelompok yang heterogen seperti Indonesia.
Konflik ini bisa membesar atau mereda bergantung pada cara pengelolaannya. Dalam pemerintahan totalitarian orde baru, konflik ini diredam secara paksa sehingga lebih mirip bara dalam sekam yang sesekali diletupkan.
Dalam masa reformasi, utamanya setelah keberadaan media sosial, konflik ini muncul ke permukaan dengan lebih terbuka.
Sebagai negara dengan umat Islam terbesar di dunia, tidak heran jika konflik ini berpusat pada "culture".
Ada bagian masyarakat yang takut jika nilai-nilai Islam digunakan untuk mengatur hubungan dalam masyarakat. Mereka ini yang gemar meneriakkan radikal atau antek khalifah.
Sementara ada bagian lain yang khawatir jika nilai-nilai Islam diabaikan dalam pengaturan hubungan itu. Ini yang membuat ketakutan akan PKI (yang dalam hal ini dianggap anti-theist), sekularisme dan liberalisme terus menerus digelorakan.
Dikotomi ini memang simplifikasi dari berbagai konflik budaya. Karena secara faktual juga ada konflik yang berpusat pada ketidaknyamanan dengan dominasi kultur Jawa ataupun dominasi ekonomi China.
Sebagai fenomena, cultural war tidak harus dinilai negatif. Karena melalui cultural war masyarakat berkesempatan untuk menguji relevansi nilai-nilai yang dianutnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.