Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Polisi Bukan "Cyborg", Bukan Juga Monster!

Kompas.com - 06/05/2023, 09:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERNAH menonton film Judge Dredd (2012) karya Sutradara Pete Travis, atau Robocop (1987)?

Dredd atau Robocop adalah cyborg--cybernetic organism. Robocop adalah manusia setengah organik dan biomekatronik, berbadan manusia, namun di dalamnya “tersisa” jiwa dan nurani Alex Murphy.

Polisi yang jadi korban ketika menjalankan tugas kepolisian dan menjadi prototype polisi masa depan, superhero cyberpunk bernama “Robocop”.

Di dalam mesin canggih itu ada hati nurani, sehingga ia tak akan melakukan tindak kejahatan, kecuali jika sistem dalam tubuhnya korsleting.

Sedangkan manusia asli dalam tubuhnya yang “canggih” dilengkapi dengan nurani dan akal sehat, justru lebih sering "korsleting".

Mistifikasi atas perilaku jahat

Jika anak-anak selepas Lebaran masuk sekolah terima rapor Ujian Tengah Semester, Polri justru diuji dengan kemunculan kasus anggota Polrinya yang nakal secara bertubi-tubi.

Meski polisi bukanlah militer, namun model dan sistem pelatihannya yang sangat disiplin dan keras layaknya militer, justru “mengeraskan” hati sebagian besar para anggotanya. Sifat keras, tegas itu memang dibutuhkan sesuai porsi tugasnya.

Namun pada akhirnya sifat dan kekerasan seperti menjadi “tabiat” yang melekat pada oknum Polri.

Bukan hanya karena alasan cakupan kerjanya yang berurusan dengan ketertiban dan keamanan menjadikan mereka seolah juga memiliki “kelas” yang lebih tinggi dari sipil.

Maka bukan hal aneh, jika kita berurusan dengan pihak kepolisian, ada saja perilaku nakal oknum yang dipraktikkan.

Memang kita tidak dapat menjustifikasi semua anggota Polri berperilaku buruk. Mistifikasi peranan alamiah yang dilekatkan publik kepada polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, dengan keharusan memiliki ketegasan sikap sebagai anggota Polri juga menjadi salah satu yang mengecoh perilaku banyak oknum memainkan kuasanya secara sembrono.

Mistifikasi yang disebut kurang lebih sebagai sebuah euforia berlebihan oleh publik dalam mengidealkan berfungsinya peranan Polri di dalam masyarakat.

Pengalaman pribadi ketika Polri baru saja mengeluarkan ultimatum agar tidak dilakukan razia di jalanan secara “ilegal”. Tiga hari setelah pengumuman keluar, penulis berkendara membawa anak-anak sekolah untuk kegiatan lapang.

Ketika itu seluruh surat-surat kendaraan lengkap, begitu juga dengan atribut kendaraan. Hanya saja saya tidak mengenakan safety belt, karena kebiasaan di kota di mana penulis tinggal masih belum menjadi aturan yang umum dijalankan secara ketat.

Saat razia, dalam jarak 10 meter dari area razia, beberapa pengendara mobil yang kami lewati sama sekali tidak menggunakan safety belt, namun lolos razia. Dan atas inisiatif pribadi karena ada razia saya menarik safety belt, dan kebetulan proses itu terlihat oleh salah seorang petugas.

Seperti biasa kendaraan dipinggirkan untuk mengurus denda. Di sana saya menyaksikan transaksi ilegal para pengendara yang terjerat razia diharuskan membayar, namun tidak dilakukan melalui rekening, tapi bayar di tempat.

Ketika itu saya protes di depan para korban razia lainnya, razia ini ilegal. Atas dasar bukti yang saya lihat. Saat itu para oknum polisi meradang.

Ketika oknum polisi itu bereaksi emosi, saya sampaikan ketentuan itu kan baru saja dikeluarkan Kapolda tiga hari lalu di media.

Setiap temuan harus dilaporkan, dan ketika itu saya juga sudah mengantongi nomor pengaduannya, sehingga saya tunjukkan karena katanya terhubung langsung dengan petinggi Polri.

Saya sampaikan tak bersedia membayar di tempat, apalagi dengan kuitansi bekas, dan bersedia membayar denda dengan kuitansi baru dan harus melalui rekening bank khusus yang bekerjasama dengan pihak Polri.

Akhirnya saya digiring dan dipertemukan dengan komandan razia. Ketika itu saya ditanyakan soal pekerjaan, karena memang saya membantu freelance sebuah radio dan menjadi penulis freelance media, saya jawab apa adanya.

Tanpa diduga mereka tiba-tiba menyalami saya dan menyatakan jika “kita” punya porsi kerja masing-masing, jadi tolong saling membantu!

Surat-surat kendaraan yang disita diserahkan dan saya diminta meninggalkan lokasi secepatnya. Lolos dari lubang jarum!

Namun bagaimana dengan puluhan atau ratusan korban razia lainnya? Terutama para mahasiswa, paling tidak seperti yang saya saksikan Rp 50.000 tak kurang melayang ke kantong kas ilegal. Kejadian yang (dulu) jamak terjadi di luar aturan Polri.

Namun masa itu sudah berlalu dan telah diminimalkan, terutama ketika institusi Polri mencanangkan Program Polri Presisi—Polri yang makin canggih, tapi juga makin berhati nurani.

Dan dalam perbaikan sistemnya, salah satunya dengan menggunakan sistem ETLE berbasis komputerisasi.

Gajah tak tampak, apalagi kuman?

Kasus kenakalan oknum Polri yang merusak institusi itu kebetulan terjadi di depan mata, di depan publik pula, bagaimana dengan kasus yang kasat mata?

Bagaimana dengan pernyataan seperti diungkapkan Teddy Minahasa, soal pengakuan bahwa bukan hal aneh oknum polisi menggunakan sabu sitaan.

Demikian juga dengan pernyataan bahwa tidak seperti halnya Ferdy Sambo yang merusak CCTV dalam kasus KM50 dan kasus kematian Brigadir Joshua, Teddy mengaku justru menyerahkan bukti CCTV kepada tim penyidik.

Meskipun pernyataan itu hanya sebagai pembanding kasusnya dengan kasus kejahatan pelaku lain sebelumnya, namun pernyataannya itu menguatkan kekhawatiran publik bahwa banyak kejahatan yang selama ini mungkin telah dianggap selesai.

Bahkan di tingkat institusi Polri, kasus itu mungkin dianggap sebagai keberhasilan Polri mengungkap kejahatan, namun jika ditelusuri ulang bukan tidak mungkin, akan banyak sekali kasus yang tersembunyi.

Praduga ini bukan tak beralasan, dengan perilaku oknum, yang paling tidak merepresentasikan institusinya menjadikan institusi Polri sendiri rusak nama baiknya. Begitu juga dengan perilaku arogansi yang jelas terjadi di lapangan.

Nilai-nilai Tribrata memang sulit jika sepenuhnya dipaksakan ditaati oleh setiap anggota Polri. persis seperti butir-butir Pancasila yang ditanamkan kepada setiap warga Negara, terutama para pejabat Negara, namun realitasnya justru merekalah banyak merangkap profesi “pejabat-penjahat” yang sesungguhnya.

Actus Reus lawan nurani

Memang polisi bukanlah mesin seperti robot atau manusia purnarupa. Mereka memiliki hati nurani.

Pada dasarnya setiap manusia memiliki dasar dari niat jahat-delik (actus reus), sebaliknya juga ada means rea, sikap batin pelaku saat melakukan kejahatan, pertanggungjawaban-- itu kodrat bawaan manusia.

Sebenarnya, ketika bicara tentang Polri dengan kewajibannya, sangat kompleks. Namun saat melayani masyarakat punya prinsip seimbang antara hukum dan moral. Idealnya, tindakannya menjadi terukur, tidak sembarangan, bertanggung jawab sesuai hukum.

Lebih memilih mencegah, menghambat, menghentikan tindak kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa, dan kehormatan kesusilaan masyarakat yang dilindunginya, daripada bertindak represif.

Wujudnya nilai-nilai diskresi. Ketika mendapat wewenang, pertimbangannya tidak sepele. Di antara batas hukum dan moral. Bertindak tidak boleh gegabah, bahkan harus sesuai legalitas, proporsionalitas, preventif, nesesitas, bukan pamer kuat dan kuasa.

Maka sebelum tembakan ke arah tubuh pelaku kejahatan, didahului tembakan ke udara, dan jika peluru dilesatkan akan dipilih area yang tidak langsung mematikan, kecuali kondisi darurat.

Di sanalah komitmen etika profesi nilai-nilai Tribrata mestinya dijaga dengan baik melalui profesionalitas sikap. Karena polisi memang bukan cyborg apalagi robot!

Belakangan semakin banyak saja kasus para anggota Polri sebagai oknum yang terbongkar kejahatannya. Peran publik sebagai kontrol sosial tak lepas dari keberhasilan mendukung upaya institusi Polri mereformasi dirinya.

Peran media sosial sebagai mediumnya juga efektif layaknya whistleblower yang meniupkan "peluang siaga kejahatan" hingga bisa didengar oleh institusi di kantor Pusat, termasuk oleh Kapolri.

Namun tetap saja pekerjaan rumah institusi Polri masih sangat luar biasa, relasi kuasa "kerajaan-kerajaan kecil pungli" seperti pertambangan, niaga BBM, perkebunan, perdagangan gelap, hingga transaksi narkoba dan trafficking masih kelam menyelimuti institusi Polri sebagai "godaan" tak tertahankan.

Semakin banyak kejahatan terkuak berimplikasi pada minimal dua hal; semakin bersih institusi, namun juga semakin luntur kepercayaan publik terhadapnya.

Seperti halnya agama sebagai sebuah keyakinan, seringkali justru penganutnya sendirilah yang melakukan kejahatan dan dosa mengotori sakral dan profannya agama tadi.

Semoga ada upaya makin tegas dan lebih serius dari Kapolri beserta jajarannya membersihkan institusinya. Publik tentu akan dengan senang hati memantaunya dari luar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

Nasional
Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com