Misalnya, Anies di Jakarta diberi label sebagai antek khalifah. Nanti dia akan bikin Jakarta bersyariah, katanya.
Ini tentu adalah ekspresi ketakutan dan kebencian dari orang-orang yang merasa akan didominasi oleh nilai-nilai Islam. Mereka yang bilang begitu pasti tidak pernah memeriksa rekam jejak Anies. Namun ini jadi narasi yang mainstream karena cultural war-nya memang ada.
Menuduh lawan politik Anies sebagai orang yang berada di balik isu itu juga tidak adil. Saya belum pernah mendengar Ahok menuduh Anies sebagai antek khalifah.
Sama seperti saya tidak pernah mendengar Prabowo menuduh Jokowi sebagai antek PKI. Karena, sekali lagi, kontestasi politiknya terpisah dengan cultural war.
Yang sangat disayangkan tentunya gagalnya pengelolaan cultural war di tingkat elite politik. Jika saja mereka mau melibatkan diri, maka kita berkesempatan untuk mendapatkan debat yang cerdas.
Saat ini hilang, maka yang kita peroleh adalah debat berkualitas rendah. Perdebatan yang tidak memberikan konsensus melainkan kebencian dan ketakutan. Itulah yang saat ini terjadi dan terus terjadi.
Rendahnya kualitas perdebatan ini juga diamplifikasi oleh hama-hama politik. Mereka yang mendapat uang dari upaya menghubung-hubungkan cultural war dengan kontestasi politik.
Saat orang takut didominasi oleh nilai-nilai Islam, misalnya, dia adalah combatant dalam cultural war. Tidak ada masalah di sini.
Namun pada saat orang bilang jangan pilih Anies karena dia antek khalifah, maka orang itu adalah hama politik. Bicara tanpa fakta untuk menyebarkan kebencian dan ketakutan.
Sebagai penutup saya ingin meninggalkan beberapa catatan:
Pertama, polarisasi masyarakat bukan disebabkan oleh kontestasi politik, tapi oleh gagalnya kita mengelola cultural war.
Kedua, cultural war dengan kualitas rendah yang berujung merebaknya ujaran kebencian dan fear mongering tidak akan berakhir jika politisi menutup mata terhadap titik-titik tempur cultural war.
Masyarakat akan selalu resah karena tidak punya saluran untuk memperjuangkan kepentingan.
Ketiga, dalam kasus Indonesia di mana para kandidatnya bukan combatant dalam cultural war, mari kita pilah dengan baik antara cultural war dan kontestasi politik. Karena jika tidak, maka yang akan kita konsumsi lebih sering hoax dan fitnah.
Semoga tulisan pendek ini bermanfaat. Tabik!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.