Relevansi terkait perkembangan zaman yang direfleksikan oleh media, baik informasi atau hiburan yang dikonsumsinya.
Apa batu ujinya? Untuk kasus Amerika dan negara-negara demokrasi lainnya, batu uji itu adalah usulan undang-undang. Kesiapan masyarakat untuk menerima nilai-nilai itu dicerminkan melalui representasi masyarakat di legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Karena saat melakukan pilihan dalam pemilu, keberpihakan para kandidat terhadap titik-titik tempur dalam cultural war merupakan salah satu kriteria utama. Seorang yang memiliki nilai-nilai konservatif tidak akan memilih orang dengan nilai-nilai liberal.
Bagian pentingnya, kandidat yang bertarung akan mengampanyekan posisinya dalam titik-titik tempur itu.
Keterlibatan politikus dalam cultural war itu transparan dan bertanggungjawab. Jika dalam kampanye dia mengatakan antiaborsi atau antiperkawinan homoseksual, maka itulah suara yang akan dia bawa ketika ada RUU yang terkait diusulkan.
Di Indonesia, jarak antara kontestasi politik dan cultural war masih sangat jauh. Dalam catatan saya ada beberapa penyebab.
Pertama, mari kita identifikasi titik-titik tempur dalam cultural war. Kapan ada dominasi nilai saat mengatur hubungan/perilaku dalam masyarakat? Ternyata ini lebih mengemuka pada kriminalisasi atau dekriminalisasi perilaku/perbuatan yang sangat terkait dengan nilai-nilai moral.
Contohnya adalah hubungan seksual di luar pernilahan, aborsi, perjudian, minuman keras, homoseksualitas, penggunaan ganja untuk rekreasional dan lain sebagainya. Ada atau tidaknya larangan akan dimaknai sebagai dominasi dalam kultur.
Padahal undang-undang yang mengatur kriminalisasi atau dekriminalisasi itu dicakup hanya oleh satu undang-undang, yakni UU KUHP. Ini menyulitkan legislator untuk mengusulkan perubahan hanya pada pasal tertentu.
Misalnya, debat tentang larangan aborsi di Indonesia di DPR hanya jadi bagian kecil dari banyaknya pasal-pasal yang diusulkan dalam RUU KUHP yang baru disahkan. Bahkan kita tidak menonton perdebatannya karena lebih sering diselesaikan melalui lobi-lobi.
Catatan publik dalam pengesahan KUHP ini hanya tentang pandangan umum fraksi (Partai) tentang RUU KUHP secara total. Bukan pasal per pasal. Akibatnya, tidak ada lagi kaitan antara cultural war yang hidup di masyarakat dengan pandangan wakil-wakilnya di DPR.
Kedua, masih terkait yang pertama, para politikus atau kontestan juga menjauh dari titik-titik tempur ini. Kita tidak akan pernah mendengar, setidaknya dalam beberapa tahun ke depan, adanya seorang kandidat yang menjanjikan revisi KUHP dalam soal aborsi, homoseksualitas, minuman keras dan sejenisnya. Karena dianggap terlalu sensitif dan khawatir justru akan mengurangi potensi suara.
Ketiga, para politisi juga tidak punya kesiapan untuk berdebat secara cerdas pada titik-titik tempur ini. Berapa banyak dari 560 anggota DPR kita yang memiliki pemahaman dalam tentang gender ideology, misalnya?
Kita tahu kesiapan ini muncul dari kebutuhan. Karena titik-titik tempur cultural war bukan perdebatan dalam kontestasi, ya buat apa belajar? Tidak butuh. Lebih gampang bagi-bagi sembako, toh?
Lalu apa dampak dari keterputusan cultural war dengan kontestasi politik? Pada akhirnya masyarakat mengarang bebas.