Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Modus Cuci Uang Oknum Kemenkeu: Punya 5-8 Perusahaan Cangkang, Pakai Nama Sopir hingga Tukang Kebun

Kompas.com - 01/04/2023, 09:12 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap modus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang angkanya mencapai puluhan triliun rupiah.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana bilang, ada oknum di Kemenkeu yang menggunakan perusahaan cangkang sebagai alat pencucian uang. Bahkan, satu oknum bisa memiliki lima hingga delapan perusahaan cangkang.

Hal ini diungkap Ivan dalam rapat Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bersama Komisi III DPR RI, Rabu (29/3/2023).

“Ada oknum satu, tapi perusahaannya ada lima, ada tujuh, delapan, dan segala macam,” kata Ivan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Baca juga: Momen Mahfud Sebut Nama Heru Pambudi Saat Ungkap Dugaan TPPU Rp 189 Triliun di Kemenkeu

Ivan mengungkapkan, oknum tersebut umumnya menggunakan nama orang-orang terdekat di akta perusahaan cangkangnya, seperti istri, anak, bahkan sopir dan tukang kebun.

“Karena modus pelaku TPPU itu adalah selalu proxy crime, orang yang melakukan tindak pidana selalu menggunakan tangan orang lain, bukan diri dia sendiri, akun orang lain dan segala macam,” ujarnya.

Menurut Ivan, dugaan TPPU tersebut merupakan bagian dari dugaan transaksi mencurigakan di lingkungan Kemenkeu yang nilai totalnya sebesar Rp 349 triliun.

Khusus dugaan TPPU yang langsung melibatkan oknum Kemenkeu dengan modus perusahaan cangkang, nilainya ditaksir mencapai lebih dari Rp 35 triliun.

Baca juga: Poin-poin Penting Penjelasan Mahfud MD soal Dugaan Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kemenkeu

Diduga, tindak pidana pencucian uang ini melibatkan 461 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 11 ASN kementerian/lembaga lain, dan 294 non-ASN.

Ivan mengatakan, dugaan TPPU dengan modus perusahaan cangkang tersebut sudah dilaporkan PPATK ke Kemenkeu, berikut nama oknum dan daftar perusahaan cangkangnya.

“Alasan kenapa PPATK memberikan data oknum plus nama perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oleh oknum. Sehingga, ini enggak bisa dikeluarkan, data perusahaan tadi enggak bisa dipisahkan dari oknum tadi,” jelasnya.

Lebih lanjut, kata Ivan, hitungan inilah yang menyebabkan adanya perbedaan data transaksi mencurigakan antara yang disampaikan PPATK dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

Baca juga: Debat Panas 8 Jam Mahfud Versus Everybody di Komisi III DPR yang Berujung Salaman

Jika dihitung dugaan TPPU satu oknum berikut perusahaan cangkang yang ia miliki, didapati angka transaksi mencurigakan senilai Rp 35 triliun sebagaimana yang dijelaskan PPATK.

Namun, jika penghitungan hanya dilakukan terhadap oknum tanpa menghitung dugaan TPPU di perusahaan cangkang, nominal transaksi janggal “hanya” sebesar Rp 3,3 triliun seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani.

“Kami masukkan nama-nama perusahaan, berikut nama oknum, di situlah ketemu Rp 35 triliun,” kata Ivan.

Halaman:


Terkini Lainnya

Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Nasional
Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Nasional
Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Nasional
Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Nasional
KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

Nasional
Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Nasional
Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Nasional
Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Nasional
Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Nasional
Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Nasional
Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Nasional
Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Nasional
Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Nasional
Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Nasional
Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com