Aksi pamer di tempat makan bertarif mahal hanya untuk gaya-gayaan, sampai ulang tahun anak dilakukan di sebuah toko yang bernama Ritz Carlton dan bukan di hotel mewah yang bernama sama.
Jika menyinggung soal tas bermerek, nama Mangga Dua sebuah kawasan perbelanjaan di Jakarta ramai disebut oleh para suami yang membela harkat dan martabat sang istri.
Mulai dari menampilkan nama toko di mana tempat istri membeli tas kualitas KW hingga harga yang dimurah-murahkan.
Aksi penyangkalan, baik yang mengundang tawa netizen atau malah menjungkirbalikkan nalar publik tentunya menjadi bahan masukan dari KPK untuk menelisik lebih jauh asal muasal perolehan harta tidak wajar tersebut.
Saya jadi teringat dengan teori sikap dan perilaku atau Theory of Attitudes and Behavior yang dikembangkan oleh Triandis (1980).
Teori ini menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh sikap yang terkait dengan apa yang orang-orang ingin lakukan serta terdiri dari keyakinan tentang konsekuensi dari melakukan perilaku.
Belum lagi aturan-aturan sosial yang terkait dengan apa yang mereka pikirkan serta kebiasaan yang terkait dengan apa yang mereka biasa lakukan. Perilaku tidak mungkin terjadi jika situasinya tidak memungkinkan.
Jika dikaitkan dengan aksi-aksi penyangkalan di atas, teori sikap dan perilaku mampu memengaruhi para pejabat yang terkena imbas aksi flexing istri dan anaknya untuk mengelola faktor personalnya sehingga seolah-olah mampu bertindak jujur, tidak memihak pada suatu kepentingan tertentu, serta berpikir rasional.
Mereka akan bertahan dengan penyangkalannya meskipun dalam keadaan tertekan, serta kerap berperilaku etis dengan senantiasa mengindahkan norma-norma profesi dan norma moral yang nantinya akan memengaruhi dalam mengambil opini yang sesuai.
Modus mengecil-ngecilkan nilai aset yang dimiliki para pejabat disertai dengan alasan hibah atas harta yang dimiliki, tentu menjadi “mainan” lama para penilep uang rakyat dan KPK tentunya sudah biasa menghadapi pola-pola ini.
Publik berharap aksi netizen dalam memburu harta tidak wajar para penyelenggara negara tidak hanya berakhir dengan pencopotan jabatan dan permintaan maaf semata. KPK saatnya berterima kasih kepada netizen dan media.
KPK tanpa mengeluarkan dana untuk sosialisasi pencegahan korupsi ternyata efektif hanya dengan himbauan kepada netizen dan media dalam ikut melacak harta tidak wajar para pejabat.
Saatnya pula Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR membuka kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sudah 10 tahun “mengendap” di Senayan.
Jika RUU Perampasan Aset yang naskah akademiknya sudah selesai dan telah diserahkan ke DPR sejak 2012 serta sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional sejak 2015 segera dirampungkan, maka aset negara yang dimiliki para “penguntil” bisa dengan cepat kembali ke negara.
Hanya sayangnya, RUU Perampasan Aset sejak DPR periode 2019 belum juga dibahas. Mirisnya lagi sejak 2021, DPR tidak lagi memasukkan dalam daftar prioritas Prolegnas.
Padahal dengan RUU ini, beban pembuktian harta kekayaan terletak pada pejabat yang bersangkutan.
Jika pejabat negara tidak bisa membuktikan asal-usul hartanya, maka aset yang dimiliki dengan tidak wajar bisa dirampas untuk negara. Efek jeranya pun juga menciutkan nyali para penyelenggara negara untuk “mikir” seribu kali sebelum “mengembat” uang rakyat.
“Saya tidak mau meminta-minta kepada negara. Saya menjadi menteri karena mau mengabdi bagi negara dan bangsa. Bukan untuk mengumpulkan fasilitas, apalagi memperkaya diri sendiri.” – Ir. Sutami.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.