JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendesak hakim konstitusi Guntur Hamzah untuk mundur dari jabatan hakim konstitusi karena terbukti melanggar etik dan asas integritas pada hari pertama menjabat, 23 November 2022.
Adapun Guntur terbukti melanggar etik berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Senin (20/3/2023), yang menjatuhi sanksi teguran tertulis lantaran mengubah frasa dalam putusan perkara nomor 103/PUU-XX/2022.
"Pengunduran diri ini penting untuk menjaga marwah Mahkamah Konstitusi agar tetap mendapat kepercayaan dari publik," kata peneliti PSHK Fajri Nursyamsi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (21/3/2023).
Baca juga: Dinyatakan Melanggar Asas Integritas, Guntur Hamzah Perlu Mundur dari Hakim MK?
Apa pun yang terjadi, Guntur dinilai perlu angkat kaki dari posisinya sebagai hakim pada lembaga pengawal konstitusi itu.
Sebelumnya, Guntur merupakan Sekretaris Jenderal MK. Ia mendadak diusulkan DPR RI menggantikan eks hakim konstitusi Aswanto yang dicopot sepihak secara inkonstitusional oleh Dewan.
Pada hari pertamanya bertugas, tepatnya sekitar 6 jam setelah dilantik di Istana, Guntur langsung ikut dalam sidang pembacaan beberapa putusan MK, termasuk perkara nomor 103/PUU-XX/2022 yang menguji pasal pemberhentian hakim MK.
"PSHK mendesak DPR segera mencabut mandat Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi dan mengembalikan Aswanto sebagai hakim Konstitusi karena pengangkatan Guntur Hamzah terbukti melanggar UU MK dan Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022," kata Fajri.
MKMK menyampaikan beberapa pertimbangan di balik sanksi tersebut.
MKMK menilai, usulan perubahan substansi ketika putusan dibacakan merupakan hal wajar di MK karena tidak adanya prosedur baku. Namun, hal itu dapat diterima selama usul perumahan itu disetujui 8 hakim lain.
Baca juga: Terungkap, Detik-detik dan Alasan Guntur Hamzah Ubah Putusan MK Terkait Aswanto
Akan tetapi, dalam kasus Guntur, MKMK tak menemukan adanya upaya meminta persetujuan dari 8 hakim konstitusi lain atau setidak-tidaknya hakim drafter dalam perkara tersebut.
Yang terjadi, para hakim konstitusi, minus Arief Hidayat, baru mengetahui perubahan substansi ini pada Rapar Permusyawaratan Hakim (RPH) setelah pemberitahuan dari panitera.
"Majelis Kehormatan berpendapat bahwa persetujuan demikian tidak pernah terjadi bahkan tidak pernah dimintakan selain kepada hakim Arief Hidayat," kata Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna dalam sidang pembacaan putusan etik, Senin (20/3/2023).
MKMK juga menyoroti bahwa kasus pelanggaran etik ini terjadi pada hari pertama Guntur bertugas sebagai hakim konstitusi.
Namun, MKMK tidak mengantongi bukti cukup kuat apakah tindakan Guntur bermotif pribadi untuk memperkuat keabsahan pengangkatan dirinya sebagai hakim konstitusi.
MKMK menilai ada beberapa hal yang memberatkan sehingga Guntur dianggap layak disanksi.
Pertama, tindakan Guntur terjadi saat publik belum reda menyoal isu keabsahan pemberhentian Aswanto, dan memunculkan spekulasi upaya untuk menyelamatkan diri walau hal itu tidak didukung bukti kuat.
Kedua, Guntur seharusnya bisa mencegah tindakannya itu karena ia belum jadi hakim saat perkara diputus oleh RPH pada 17 November 2022.
Ketiga, Guntur sebagai hakim anyar yang ikut bersidang seharusnya bertanya soal tahapan perubahan putusan.
Di sisi lain, MKMK menilai ada beberapa hal meringankan bagi Guntur.
Pertama, Guntur dianggap berani bersikap transparan kepada MKMK dan mengakui perbuatannya mencoret serta mengubah frasa dalam putusan itu.
Kedua, MKMK menyoroti bahwa praktik sebagaimana terjadi dalam kasus Guntur sebetulnya merupakan hal lazim sepanjang beroleh persetujuan para hakim lain dan tidak dilakukan diam-diam.
Baca juga: MKMK: Tiada Persekongkolan pada Pelanggaran Etik Guntur Hamzah
Ketiga dan keempat, belum terdapat prosedur baku atas kelaziman di atas, dan MK dinilai lamban merespons tindakan Guntur yang sebetulnya sudah mereka ketahui beberapa hari setelahnya.
MKMK berpendapat, jika MK bergerak cepat, persoalan ini tak perlu berlarut-larut, menimbulkan kontroversi, dan bahkan MKMK mungkin tak perlu dibentuk.
"Sesungguhnya telah diketahui oleh beberapa orang Hakim dan telah sejak awal diakui oleh Hakim terduga serta telah pula diberitahukan kepada panitera untuk dibicarakan dalam RPH," kata Palguna.
"Namun RPH dimaksud tidak pernah dilaksanakan dengan alasan yang lebih bersifat teknis psikologis," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.