JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa tudingan soal "persekongkolan" untuk mengubah substansi Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022, tidak terbukti.
“Tudingan perihal adanya 'persekongkolan' untuk mengubah risalah sidang dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022 adalah tidak benar,” ucap Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna dalam sidang pembacaan putusan, Senin (20/3/2023).
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika menimbang kecurigaan bernada tuduhan dari Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku penggugat perkara nomor 103/PUU-XX/2022.
Kecurigaan ini dipahami MKMK melalui pernyataan Zico yang dikutip sejumlah media massa terkait dugaan keterlibatan hakim dan panitera untuk mengganti frasa "dengan demikian" menjadi “ke depan”.
“Majelis Kehormatan memberi perhatian serius terhadap isu tersebut,” ucap Palguna.
MKMK menyinggung bahwa meski terdapat pelanggaran etik, namun kasus ini juga tidak terlepas dari ketiadaan prosedur baku bagi hakim konstitusi mengusulkan perubahan substansi putusan saat putusan dibacakan.
MKMK juga menimbang soal perbedaan cara menyusun risalah sidang putusan dan sidang biasa, sebagai salah satu hal yang melatarbelakangi perubahan substansi ini lolos ke beberapa dokumen.
“Penting bagi Majelis Kehormatan untuk menjelaskan dan menegaskan kepada publik agar jangan sampai isu pengubahan risalah tersebut digunakan untuk mempolitisasi Mahkamah Konstitusi atau pengadilan pada umumnya,” ucap Palguna.
Baca juga: MKMK Periksa Guntur Hamzah dan Daniel Yusmic soal Pengubahan Substansi Putusan
Sebelumnya diberitakan, MKMK memutus Guntur terbukti melanggar etik karena mengubah frasa "dengan demikian" menjadi "ke depan" dalam Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.
Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 mengenal 3 tingkatan sanksi bagi hakim konstitusi pelanggar etik, yakni sanksi teguran lisan, teguran tertulis, dan pemberhentian dengan tidak hormat. Guntur, sebagai hakim yang terbukti melanggar etik, dikenai sanksi teguran tertulis.
MKMK menilai ada beberapa hal yang memberatkan sehingga Guntur dianggap layak disanksi.
Pertama, tindakan Guntur terjadi saat publik belum reda menyoal isu keabsahan pemberhentian Aswanto, dan memunculkan spekulasi upaya untuk menyelamatkan diri walau hal itu tidak didukung bukti kuat.
Kedua, Guntur seharusnya bisa mencegah tindakannya itu karena ia belum jadi hakim saat perkara diputus oleh RPH pada 17 November 2022.
Ketiga, Guntur sebagai hakim anyar yang ikut bersidang seharusnya bertanya soal tahapan perubahan putusan.
Di sisi lain, MKMK menilai ada beberapa hal meringankan bagi Guntur.
Baca juga: Pencopotan Aswanto Diperkarakan Ulang, Minta MK Tak Libatkan Guntur Hamzah dan Arief Hidayat