"Pemberi Keterangan/Kesaksian menjelaskan berdasarkan Pasal 47 UU MK, putusan memiliki kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan. Dalam hal ini, usulan koreksian disampaikan jauh sebelum putusan selesai dibacakan dan masih dalam tempus dan locus sebelum putusan dibacakan," urai MKMK terkait keterangan yang diberikan Guntur.
Baca juga: Jokowi Digugat ke PTUN soal Guntur Hamzah Jadi Hakim Konstitusi
"Menurut Pemberi Keterangan/Kesaksian, jika perubahan itu terjadi setelah putusan selesai dibacakan maka akan berbeda. Putusan menjadi milik publik setelah selesai dibacakan dalam sidang pleno terbuka. Putusan MK berlaku prospektif, sehingga adanya perbedaan frasa 'dengan demikian' ataupun 'ke depan' tetap akan berlaku ke depan dan tidak berpengaruh terhadap hakim konstitusi yang sudah dilantik," tulis MKMK.
"Pemberi Keterangan/Kesaksian menegaskan kepentingannya mengubah hanya untuk menegaskan inspirasi dari RPH agar tidak ada lagi pergantian hakim."
MKMK tidak bisa menerima alasan ini.
"Konteks ucapan itu ("ke depan" dari Suhartoyo) adalah menegaskan bahwa pemberhentian hakim konstitusi seperti yang dilakukan terhadap hakim Aswanto tidak sesuai dengan pasal 23 UU MK yang secara nyata-nyata masih berlaku sehingga tidak sah, dan karenanya 'ke depan' ke-8 hakim konstitusi lainnya harus diproteksi dari cara-cara pemberhentian demikian," kata Palguna membaca putusan.
MKMK menegaskan bahwa usulan perubahan frasa ini berdampak fatal, sebab frasa "ke depan" membuat putusan itu menjadi tidak koheren dengan pertimbangan hukum yang disusun panjang-lebar.
MKMK juga menganggap Guntur tidak meminta persetujuan para hakim konstitusi lain soal usulan perubahan ini, minus Arief Hidayat.
Namun, dalam keterangannya, Guntur bersikeras bahwa ia meminta persetujuan seluruh hakim konstitusi. Sementara itu, keterangan panitera, Muhidin, menyebut Guntur hanya menyuruhnya meminta persetujuan Arief.
Ini janggal karena Arief tak ikut memutus perkara ini pada 17 November 2023, meskipun yang bersangkutan berstatus sebagai ketua panel hakim pada perkara ini.
Baca juga: Pencopotan Aswanto Diperkarakan Ulang, Minta MK Tak Libatkan Guntur Hamzah dan Arief Hidayat
Rekaman CCTV menunjukkan, pergerakan Muhidin memang hanya menuju Arief Hidayat. Di sisi lain, tak satupun hakim konstitusi, selain Arief, yang menyinggung soal usulan perubahan frasa ini.
Hal ini dianggap cukup kuat bagi MKMK untuk tiba pada kesimpulan bahwa Guntur memang hanya meminta panitera mencari persetujuan Arief.
Uniknya, MKMK tak menimpakan seluruh kesalahan pada Guntur karena praktik mengusulkan perubahan putusan sebelum putusan selesai dibacakan memang dimungkinkan.
Baca juga: Pimpinan Komisi III DPR: Kalau Pelantikan Guntur Hamzah Langgar Konstitusi, Jokowi Tak Mau Lantik
Tidak ada prosedur baku untuk hal ini dan bagaimana pun, Guntur dianggap telah resmi menjadi hakim konstitusi yang memiliki hak untuk itu.
Namun, MKMK menilai bahwa Guntur seharusnya bertanya soal prosedur itu sebagai hakim yang baru bertugas, dan seharusnya tak melakukan itu karena toh ia tidak tahu serta tak ikut memutus perkara.
Hal ini menjadi salah satu hal memberatkan Guntur, di samping bahwa tindakannya ini dilakukan pada putusan perkara yang secara tidak langsung berkenaan dengan keabsahan pengangkatan dirinya sebagai hakim konstitusi.
"Pemberi Keterangan/Kesaksian membayangkan jika ada SOP-nya untuk mendapatkan persetujuan dari hakim drafter atau hakim lainnya, maka panitera akan melakukan hal tersebut," bunyi putusan MKMK.
"Pemberi Keterangan/Kesaksian melakukan usulan koreksi tersebut masih jauh sebelum frasa yang diubah dibacakan oleh Hakim Saldi Isra. Koreksian tersebut dilakukan dalam tempus dan locus masih sebagai hakim menjalankan tugas kekuasaan kehakiman yang diberi hak untuk bisa menyampaikan pikiran-pikiran yang merdeka".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.