Anehnya lagi, watak demokrasi kita saat ini jatuh dalam roda transaksi liberal. Amplop menjadi jembatan penghubung untuk mencairkan suasana relasi antara elite dan publik.
Susahnya lagi rakyat kita justru memberikan kapret merah terhadap model politik transaksional seperti ini.
Pertanyaannya kemudian, apakah sistem ini sengaja dibangun oleh negara atau hanyalah dampak dari reformasi kita yang terlalu terburu-buru?
Tentu refleksi ini tidak bisa dibaca hanya menggunakan kaca mata kuda. Reformasi sebenarnya kado istimewa yang lahir dari perjuangan aktivis saat itu.
Harapannya tentu terbebas dari rezim totaliter, bukan untuk bebas secara finansial. Tetapi toh, perjuangan idealisme itu akhirnya buram ketika parpol adalah jalan satu-satunya menuju singgasana.
Jelas bahwa, meskipun idealisme diperjuangkan, tetapi di sisi lain harus ada kepentingan parpol yang diselibkan dalam berbagai transaksi.
Selain itu, budaya konsumtif yang berkembang dengan pesat pascareformasi membuat praktik korupsi merajarela dari tingkat nasional sampai daerah.
Prinsipnya demokrasi itu konsep yang baik. Tetapi konsep luar biasa ini sulit diterjemahkan secara teknis dan praktis. Ini terjadi karena hampir setiap politisi memilki definisi berbeda tentang demokrasi.
Demokrasi didefinisikan sesuai dengan kebutuhan politisi dan parpol, sehingga pemaknaannya menjadi luas, tetapi tidak dalam. Kedalam itulah yang hari ini belum nampak dalam praktik demokrasi kita.
Dan tentu berdampak besar kepada pelaksanaan pesta demokrasi kita setiap lima tahun.
Kita butuh referensi dasar untuk memperbaiki logika kita. Agar bisa sadar tidak hanya secara akademis tetapi juga moraldan etis untuk memperbaiki sistem demokrasi kita yang perlahan menggrogoti Nasionalisme hari ini.
Ketamakan dan kerakusan merupakan ketakutan terbesar dari demokrasi yang dipraktikan hari ini. Kekwatiran itu muncul dari realita publik yang melihat menjadi politisi itu merupakan jenjang karir. Padahal menjadi politisi itu sebenarnya hal yang tidak mudah.
Karena banyak tanggung jawab rakyat yang diperjuangkan. Justru politik kita hari ini lebih memperkuat budaya itu.
Misalnya, muncul dinasti politik yang mendewakan keluarga sebagai basis pengambilan keputusan publik.
Tentu publik dan private adalah dua hal yang berbeda, tidak bisa disatukan. Bagaimana mungkin seorang pejabat publik membuat kebijakan hanya karena kecintaan dirinya kepada anak atau istri.