Itu sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam konteks mengelola negara menggunakan perspektif publik.
Makanya, menjadi pejabat bukan hal sepele yang hanya menerima tunjangan tiap akhir bulan. Namun ada integritas, wisdom, kecerdasan, moral dan etika yang dipertaruhkan.
Munculnya banyak “raja lokal” sebagai buah busuk dari pohon demokrasi tentu merupakan kecelakaan nyata di depan mata.
Kesetaraan akhirnya dipandang hanya untuk privilege buat kalangan bangsawan. Bagi rakyat yang tidak memilki trah, tentu tidak ada makan siang yang diberikan.
Raja lokal atau orang kuat lokal ini yang kemudian memainkan perilaku megalomania di tingkat akar rumput.
Kolaborasi antara ketamakan dan kekerasan terjadi hampir di setiap daerah ketika menjelang pemilu. Rumah dibakar, diasingkan karena pilihan berbeda, tidak mendapat bantuan sosial merupakan asam garam yang terus – menerus dinikmati masyarakat.
Salahnya apa sehingga rakyat disiksa dengan politik transaksional ini? Hanya karena kekuasaan orang bisa berubah menjadi megalomaniak dan memotong kebutuhan hidup orang banyak.
Sejak dulu, demokrasi itu dibuatkan oleh rakyat dan seharusnya dinikmati oleh rakyat. Sebagai warga negara, kita punya hak untuk mengembalikan demos dan kratos ini kejalan yang seharusnya.
Suara-suara kritis tidak patut lagi dibungkam karena itu merupakan teriakan penderitaan dari rakyat yang tersiksa oleh watak megalomaniak politik hari ini.
Meskipun begitu, kritisisme itu perlu diwadahi juga dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk menambah kekuatan argumentasi dalam membantah kebijakan pemerintah. Karena kebebasan tidak cukup tanpa kecerdasan.
Apa pun polemiknya, orang Indonesia adalah manusia yang luar biasa. Ketabahan dan kekuatan menyatu dalam setiap pribadi individu-individu.
Sejak dulu, kita adalah bangsa yang kokoh dan kuat. Kita percaya bahwa kebaikan politik itu tidak hilang, tetapi hanya beristirahat sejenak.
Satu kali kelak akan muncul dengan wajah yang berseri-seri dan memeluk megalomaniak dengan hangat sambil berkata “apakah kamu tidak lelah, istirahatlah dulu”.
Mungkin ini adalah cobaan bagi kita melawan praktik-praktik jahat di republik ini. Tentu bukan kita seorang saja, pasti ada beberapa individu-individu hebat yang berjuang menegakan kebenaran dan keadilan di republik ini.
Bukankah setiap zaman selalu melahirkan individu-individu untuk menjaga tetap tegaknya sayap Garuda. Denken ist danken, berpikir adalah bersyukur. Bersyukur hidup di negara hebat ini dan bertindak untuk memperbaiki berbagai kerusakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.