JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih mengingatkan bahaya yang mungkin terjadi jika dana hasil kejahatan pencucian uang mengalir ke proses pemilu.
Menurut Yenti, kondisi demikian akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang didukung oleh para pelaku kejahatan.
“Siapa (peserta pemilu) yang dicalonkan bukan berarti mereka yang melakukan kejahatan. Mereka disumbang oleh para penjahat yang menyalurkan uang hasil kejahatannya, itu adalah posisi pencucian uangnya,” kata Yenti dalam acara Satu Meja The Forum Kompas TV, dikutip Sabtu (18/3/2023).
Baca juga: PPATK Ungkap Modus Kejahatan Jelang Pemilu: Pemberian Izin Tambang Marak, Kredit Macet Meningkat
Yenti mencontohkan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) atau calon anggota legislatif (caleg) yang mendapat sumbangan dana kampanye dari hasil pencucian uang pelaku kejahatan.
Memang, capres dan cawapres atau caleg itu bukan pelaku kejahatan. Namun, mereka menampung uang hasil kejahatan pencucian uang lewat proses pemilu.
Jika kandidat tersebut terpilih dan duduk di kursi kekuasaan, besar kemungkinan pemimpin itu bakal melahirkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pelaku kejahatan. Ini merupakan bentuk timbal balik karena mereka sebelumnya telah didukung di pemilu.
“Misalnya (uang hasil kejahatan) dari narkoba, dari judi online, kemudian menyumbang ke calon presiden atau calon anggota DPR. Kalau itu nanti dia terpilih, jangan harap siapa yang jadi itu, yang disumbang dari narkoba, dari judi online atau dari korupsi itu akan bikin aturan-aturan untuk penguatan pemberantasan korupsi, tidak akan,” ujar Yenti.
Baca juga: Bawaslu Ingin Punya Kewenangan Investigasi Akses Masuk Dana Kampanye pada Pemilu 2024
Berawal dari sumbangan dana kampanye pemilu itu, kata Yenti, akan muncul persoalan negara berkepanjangan. Misalnya, kebijakan yang tidak berpihak pada pemberantasan korupsi, bisnis gelap narkoba, hingga judi online.
“Apa pun yang dicanangkan ke depan enggak akan tercapai kecuali memang keinginan dari para penyumbang itu. Sementara penyumbangnya adalah hasil kejahatan, bandar-bandar narkoba misalnya, koruptor,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan ini, lanjut Yenti, dibutuhkan undang-undang yang secara tegas mengawasi sumbangan dana kampanye peserta pemilu.
Sebab, aturan yang ada saat ini masih memiliki celah sehingga terbuka peluang bagi peserta pemilu menerima sumbangan dana gelap untuk kampanye.
Bersamaan dengan itu, lembaga pengawas pemilu dinilai perlu lebih tegas, audit dana kampanye pemilu juga perlu diperkuat.
“Setelah ada pemerintahan yang baru, parlemen yang baru, kalau sampai itu didanai dari hasil kejahatan yang namanya pencucian uang, ini ya sudah nggak ada yang bisa diharapkan,” tutur Yenti.
Sebelumnya, Ketua Humas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Natsir Kongah mengungkap adanya dana Rp 45 triliun yang terindikasi sebagai hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Baca juga: Bawaslu Sebut Anggaran untuk Gaji Pengawas Pemilu Hanya Cukup sampai Oktober
Sebagian dana tersebut disinyalir mengalir ke sejumlah politikus. Diduga, dana itu digunakan untuk membiayai pemenangan para politisi pada Pemilu 2019 lalu dan Pemilu 2024.
“Dari total indikasi tindak pidana pencucian uang di kejahatan green financial itu ada Rp 45 triliun. Di mana di antaranya mengalir kepada politikus,” kata Natsir dalam acara Satu Meja Kompas TV dikutip Jumat (17/3/2023).
“(Digunakan) pada periode sebelumnya, Pemilu 2019. Itu diduga juga untuk persiapan pemilu selanjutnya,” tuturnya.
Baca juga: Bertemu Relawan di SCBD, Jokowi Sempat Singgung Isu Penundaan Pemilu
Natsir mengatakan, dana Rp 45 triliun tersebut berasal dari green financial crime atau kejahatan finansial di bidang kehutanan, lingkungan hidup, serta perikanan dan kelautan.
Hal serupa juga pernah disampaikan oleh Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono. Dia menyebut, sedikitnya uang Rp 1 triliun hasil kejahatan lingkungan mengalir ke partai politik untuk pembiayaan Pemilu 2024.
"Luar biasa terkait GFC (green financial crime) ini. Ada yang mencapai Rp 1 triliun (untuk) satu kasusnya dan itu alirannya ke mana, ada yang ke anggota partai politik," kata Danang dalam Rapat Koordinasi Tahunan PPATK di Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.