Fakta pertama, situasi lapangan sudah kondusif, namun aparat memilih menembakkan gas air mata.
Fakta kedua, aparat kepolisian menembakkan gas air mata secara beruntun.
Fakta ketiga, gas air mata sengaja diarahkan ke tribune penonton sehingga menyebabkan kepanikan yang menewaskan 135 orang.
Dasar fakta itu, para terdakwa dinilai meiliki kapasitas untuk mencegah penembakan gas air mata.
"Namun hal tersebut tidak dilakukan," kata Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing.
Gelombang kekecewaan itu juga datang dari Koalisi Masyarakat Sipil yang memantau persidangan.
Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Rezaldy yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit turun tangan.
Kapolri dinilai bisa memastikan proses hukum berjalan dengan baik, transparan dan independen.
Baca juga: Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Divonis Bebas, Anggota Komisi III Minta Jaksa Banding
"Juga mendesak Dirkrimum Polda Jatim melakukan penyelidikan dan penyidikan kembali untuk menemukan tersangka baru khususnya bagi pelaku penembakan gas air mata," kata Andi.
Di sisi lain, Komnas HAM juga diminta untuk menetapkan tragedi Kanjuruhan tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.
Lembaga negara lainnya khususnya di bidang hukum seperti Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung juga diminta bergerak atas putusan ini.
Andi mendesak agar kedua lembaga yang memiliki wewenang mengawasi peradilan bisa memeriksa Majelis Hakim yang memberikan putusan.
Amnesty International Indonesia juga turut menumpahkan kekecewaan dalam putusan tragedi Kanjuruhan ini.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pihak berwenang dinilai gagal memberikan keadilan kepada para korban.
"Meskipun sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat," ucap Usman.
"Kami mendesak pemerintah untuk memastikan akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan," lanjut dia.
Dia berharap proses hukum yang akuntabel tidak hanya diterapkan pada petugas lapangan, tetapi juga hingga ke tataran komando.
Ini diperlukan untuk memberikan keadilan pada korban dan memutus rantai impunitas para pejabat tinggi yang melanggar hukum.
"Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen," kata Usman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.