JAKARTA, KOMPAS.com - Pengakuan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rafael Alun Trisambodo, mengenai surat kepemilikan Jeep Rubicon atas nama kakaknya dinilai tidak perlu dipercaya karena dinilai menjadi salah satu modus dugaan tindak pidana pencucian uang.
"Jangan pernah percaya kebenaran formal itu adalah sama dengan kebenaran materiel," kata mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, dalam program Ni Luh di Kompas TV, seperti dikutip pada Kamis (9/3/2023).
Menurut Yunus, penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus lebih teliti terhadap pengakuan Rafael dan melihat secara cermat mengenai pihak yang sebenarnya menguasai harta-harta itu.
"Misalnya bukan atas nama saya, tapi atas nama kakak saya, orang lain, tapi dalam hukum kita melihat kebenaran materiel itu siapa yang benar-benar mengendalikan. Siapa beneficial owner dari perusahaan ataupun kegiatan ini," ujar Yunus.
Baca juga: Meski Dipecat, Rafael Alun Trisambodo Tetap Dapat Tabungan Perumahan dan JHT
Yunus menyampaikan, walaupun Rafael mempunyai sebuah harta atas nama orang lain, tetapi jika dalam keseharian dia yang langsung menguasai atau menggunakan, maka pemilik sebenarnya adalah Rafael.
"Kalau dia yang beneficial owner sehari-hari, dia mengendalikan barang ini, perusahaan ini, sebenarnya secara de facto dia yang punya sebenarnya. Dan memang salah satu modus tindak pidana termasuk cuci uang adalah bisa dia pakai (nama) orang lain, bisa dia pakai korporasi, yang penting dia controlling. Mengendalikan. Itu yang paling penting," ucap Yunus.
Yunus juga membandingkan kasus kepemilikan harta tak wajar Rafael mirip dengan mantan pegawai pajak Gayus Tambunan.
Kasus korupsi yang dilakukan Gayus terungkap pada 2010. Dia terbukti menyembunyikan harta berupa valuta asing senilai Rp 60 miliar dan perhiasan senilai Rp 14 miliar.
Baca juga: Akal Bulus Rafael, Pinjam Nama Orang Lain untuk Samarkan Aset
Padahal Gayus saat itu adalah pegawai pajak golongan III/a dengan gaji per bulan Rp 12.500.000.
Yunus juga menyampaikan data dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bisa digunakan sebagai pintu masuk yang sangat baik buat menelusuri dugaan kekayaan tak wajar aparatur sipil negara (ASN) atau penyelenggara negara.
"Apalagi sudah ada hasil analisis," ujar Yunus yang juga ahli hukum perbankan dan pidana korporasi serta pencucian uang.
Yunus juga berharap penyelidik KPK menggunakan pendekatan analisis gaya hidup dan pendekatan pendapatan tetap dalam upaya membongkar kasus korupsi dan pencucian uang.
"Maksudnya ini kok pejabat cuma golongan III misalnya, tapi lifestyle-nya ya punya perusahaan, rumah, real estate, aset luar biasa, enggak sesuai, enggak seimbang dengan income-nya harusnya dicari sumbernya. Jadi kalau niat dan komitmennya kuat ya semuanya bisa," papar Yunus.
Baca juga: Sederet Alasan Sri Mulyani Pecat Rafael Alun dari ASN, Sembunyikan Harta hingga Tak Patuh Pajak
Saat ini kinerja Direktorat Jenderal Pajak menjadi sorotan setelah mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo diduga mempunyai jumlah kekayaan tak wajar.
Harta tak wajar Rafael terkuak setelah putranya, Mario Dandy Satrio (20), menganiaya D (17) yang merupakan anak pengurus GP Ansor.
Rafael yang merupakan pejabat eselon III di Ditjen Pajak tercatat memiliki harta kekayaan mencapai Rp 56 miliar di dalam LHKPN.
Sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga telah memblokir puluhan rekening Rafael dan keluarga dengan transaksi senilai Rp 500 miliar.
Rekening yang diblokir ini terdiri dari rekening pribadi Rafael, keluarga termasuk putranya Mario Dandy Satrio dan perusahaan atau badan hukum, serta konsultan pajak yang diduga terkait dengan Rafael.
Baca juga: Setelah Rafael Alun, Ini Pegawai Kemenkeu yang Disorot Pamer Harta
PPATK sebelumnya menyatakan sudah menemukan indikasi transaksi mencurigakan Rafael sejak 2003 karena tidak sesuai profil dan menggunakan nominee atau kuasa.
PPATK juga mendapat informasi dari masyarakat mengenai konsultan pajak terkait Rafael melarikan diri ke luar negeri.
Diduga ada dua orang mantan pegawai Ditjen Pajak yang bekerja pada konsultan tersebut. KPK pun sudah mengantongi dua nama orang itu.
Adapun KPK sudah memutuskan membuka penyelidikan dugaan tindak pidana terkait harta kekayaan Rafael. Dalam proses ini, KPK akan mencari bukti permulaan dugaan tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan memutuskan memecat Rafael setelah melakukan audit. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun dilaporkan menyetujui pemecatan Rafael.
Sri Mulyani bahkan membubarkan klub pengendara motor pegawai Ditjen Pajak, Belasting Rijder, sebagai dampak dari kasus Rafael.
Dampak dari kasus Rafael juga merembet ke Bea Cukai. Eko Darmanto yang sebelumnya merupakan Kepala Kantor Bea dan Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dicopot dari jabatannya karena memamerkan gaya hidup mewah melalui media sosial dan diduga mempunyai harta kekayaan tidak wajar.
Eko pun dimintai klarifikasi oleh KPK terkait data LHKPN.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.