JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengatakan, pihaknya tak akan bekerja sama dengan bakal Koalisi Perubahan.
Adapun koalisi tersebut terdiri dari Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) untuk Pemilu 2024.
“Kalau (dengan Koalisi Perubahan) tidak sih. Meskipun dunia runtuh, kita tidak (berkoalisi),” ujar Grace ditemui di kantor DPP PSI, Tanah Abang, Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Baca juga: Bawaslu Sebut Perlu Ada Aturan Khusus soal Politik Identitas, Lagi Dibahas KPU
Ia mengungkapkan, keputusan itu tidak diambil karena alasan personal. Namun, PSI sejak awal berkomitmen tak mendukung pihak yang bergerak dalam politik identitas.
“Jangan hal-hal dasar seperti jangan mempolitisasi agama, memainkan politik identitas, karena rusak kita, masyarakat kita banyak yang belum terdidik,” sebut dia.
“Akhirnya baper, pemilu sudah lewat masih saja gontok-gontokan di bawah,” sambungnya.
Menurutnya, politik identitas akan menyebabkan kualitas demokrasi menurun. Sebab, menurut Grace, masyarakat akan memilih pemimpin hanya berdasarkan latar belakang identitasnya.
“Akhirnya kita milih orang berdasarkan agamanya apa, sukunya apa, programnya apa kita tidak tahu,” ujarnya.
Baca juga: PAN Dukung Pemilu 2024 Tanpa Kegaduhan Politik Identitas
Diketahui saat ini PSI belum memutuskan bakal bergabung atau bekerja sama dengan partai politik (parpol) atau koalisi parpol tertentu untuk menghadapi Pemilu 2024.
Akan tetapi, PSI sempat menunjukkan kedekatannya dengan Partai Golkar yang telah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Di sisi lain, PSI telah menyatakan akan mengusung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres), bersama anak Presiden ke-4 RI Abdurrachman Wahid atau Gus Dur, Yenny Wahid.
Baca juga: Anies: 5 Tahun Tugas di Jakarta, Ada Bukti Saya Pakai Politik Identitas?
Anies Baswedan sempat menjawab soal politik identitas ini. Jawaban itu dilontarkan ketika ditanya oleh Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi mengenai narasi politik identitas yang kerap ditempelkan kepadanya.
Hal tersebut terjadi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-1 Partai Ummat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa (14/2/2023).
"Saya pakai pengalaman saja. Ketika Pilkada 2017 di Jakarta, semua label itu ditempelkan kepada yang terpilih. Semua ditempelkan, apa pun nama labelnya," ujar Anies.
Ia mengatakan, label-label yang ditempelkan kepadanya itu hanya untuk menciptakan persepsi. Salah satu cara untuk menciptakan persepsi adalah dengan menggunakan pendekatan strategi komunikasi.
Anies mencontohkan, jika ada secangkir air putih, tetapi 100 orang mengatakan bahwa itu adalah air keras, maka persepsi yang terbentuk adalah cangkir itu berisi air keras.
Baca juga: Partai Ummat Ingin Dialog dengan Bawaslu, Jelaskan Maksud Usung Politik Identitas
Dia menilai, cara yang bisa dilakukan adalah melakukan counter dengan mengumpulkan 200 orang untuk mengatakan bahwa cangkir tersebut berisi air putih, bukan air keras.
Namun demikian, kata Anies, jika menggunakan strategi seperti itu, yang terjadi hanyalah kompetisi komunikasi.
Walhasil, Anies mengaku menghadapi persepsi politik identitas yang muncul dengan bukti nyata, bukan sekadar ucapan.
"Jadi bagaimana persepsi itu terbentuk? Dengan kenyataan. Kami bertugas di Jakarta, tunjukkan, sesudah berjalan lima tahun, apakah ada bukti bahwa yang ditudingkan (politik Identitas) menemukan pembuktiannya?" kata dia.
"Bila yang ditudingkan tidak menemukan pembuktiannya dan ternyata memang tidak ditemukan, maka semua pernyataan-pernyataan itu batal demi akal sehat kita semua," ucap Anies.
Baca juga: PDI-P: Partai Ummat Tak Paham Pembentukan Bangsa karena Usung Politik Identitas
Untuk itu, Anies mengajak agar semua pihak tidak perlu lagi melakukan pertandingan melalui pernyataan.
Dia mengajak mereka semua untuk bertanding dengan melihat kenyataan saja. Sebab, kenyataan akan memiliki efek persepsi yang lebih kuat ketimbang pernyataan.
"Dan ketika kita berjuang membawa narasi keadilan, maka identitas apa pun itu menginginkan adanya rasa keadilan. Dengan begitu, kita tidak masuk ke dalam jebakan pernyataan, tapi kita dorong justru dengan perubahan. Perubahan untuk apa? Kebaikan. Kebaikan untuk apa? Rasa keadilan kita semua," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.