Lebih lanjut Hekal mengungkapkan keluhan konsumen yang didengarnya, yakni mereka seakan-akan dipaksa untuk menukar unit yang nilai jualnya berbeda dengan yang dipesan.
Bahkan, tak sedikit pula konsumen yang disuruh tukar unit sebanyak dua kali dengan unit lain yang harganya Rp 600 jutaan.
Baca juga: Meikarta dalam Kubangan Kontroversi
"Setelah kami tinjau langsung ke lokasi, pihak pengembang Meikarta menjamin (secara lisan) akan menyelesaikan semuanya. Seluruh konsumen yang masih punya purchase order (PO) atau surat pesanan dan sudah ada uang di sana (Meikarta) akan diselesaikan semua. Untuk itu, kami akan terus mengawal hingga Meikarta mewujudkan komitmennya," tegas Hekal.
Berangkat dari polemik antara konsumen Meikarta dan pengembang, Hekal pun mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menilai perusahaan pengembang properti sebelum membeli.
Masyarakat juga diimbau untuk cermat dan kritis terhadap berbagai penawaran masif yang dilakukan tenaga penjual properti. Pasalnya, nama besar pengembang bukanlah jaminan.
"(Sekaliber Lippo saja) bisa kejadian. Kalau lihat nama besar developer, tak menjamin bisa mengetahui detail 'isi perutnya'. Kalau misal beli unit properti, legalitas tanahnya beres enggak? Kan konsumen enggak bisa lihat," ujarnya.
Masyarakat juga perlu mengetahui apakah developer telah memenuhi seluruh syarat dan ketentuan untuk mulai berjualan atau tidak. Pasalnya, developer hanya bisa memulai penjualan bila properti sudah terbangun 20 persen.
Ketentuan tersebut sesuai UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang kedudukannya kini digantikan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
"Terkadang, masih dalam bentuk gambar atau miniatur saja konsumen sudah disuruh bayar down payment (DP). Selain itu, sudah mulai pembangunan tapi belum mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Siapa yang mau (dan bertanggung jawab untuk) periksa seluruh detail tersebut?" tambahnya.
Karena itu, lanjut Hekal, pihaknya berpendapat bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) harus kembali difungsikan secara optimal untuk melakukan pengawasan, termasuk dari segi pengawasan perjanjian.
Pasalnya, tanpa ada intervensi pemerintah melalui lembaga, kata dia, sehebat-hebatnya konsumen dalam memilih developer dan nama besar pengembang, masyarakat tetap berpotensi mengalami kerugian.
Baca juga: Babak Baru Meikarta: Gugatan Dicabut dan Buka Mekanisme Pengembalian Uang
BPKN juga ke depan bisa diberi kewenangan untuk hands-on approach atau penanganan langsung terhadap perkara-perkara yang dialami oleh konsumen.
"Ketika mengalami kerugian seperti konsumen Meikarta, (konsumen) harus cari bantuan pihak lain untuk bisa meramaikan. Hal seperti ini tentu tidak diinginkan,” kata Hekal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.