JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik proyek apartemen Meikarta milik konglomerasi bisnis Grup Lippo masih menjadi sorotan publik. Sejumlah konsumen apartemen Meikarta menuntut balik pengembalian uang lantaran tak ada kepastian serah terima unit sejak pembayaran pertama pada 2017.
Merespons polemik tersebut, Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Mohamad Hekal angkat suara. Pihaknya pun mendorong pihak Grup Lippo, utamanya PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), untuk berkomitmen menyelesaikan seluruh unit yang sudah dibeli konsumen.
Ia menilai, polemik tersebut dapat segera dituntaskan jika para konsumen bisa mendapatkan haknya.
"Polemik ini (menjadi) momentum tepat untuk merevisi Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen, serta memperbaiki sistem di sektor properti," ujar Hekal kepada Kompas.com di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (17/2/2023).
Baca juga: Profil Grup Lippo yang Terus Didera Konflik Meikarta
Hekal mengatakan, pihaknya pun telah menerima audiensi Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (KPKM). Bahkan, upaya lain oleh DPR sudah dilakukan, yakni dengan mengunjungi apartemen Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (Jabar), secara langsung pada Selasa (14/2/2023).
Hekal turut menceritakan hasil tinjauan langsung tersebut. Kala itu, pihaknya bertemu dua orang perwakilan pihak Meikarta.
“Komisi VI DPR bertemu dengan pihak Meikarta yang diwakili Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Tbk Ketut Budi Wijaya dan Chief Executive Officer (CEO) PT Mahkota Sentosa Utama (Meikarta) Indra Azwar,” ujarnya.
Adapun kunjungan DPR RI diwakili oleh Komisi III, Komisi V, Komisi VI, dan Komisi XI. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memimpin rombongan anggota DPR ke proyek Meikarta.
Sayangnya, orang yang ditemui olehnya tidak mengetahui perihal runtutan kejadian Meikarta saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar sebelumnya, Senin (13/2/2023).
Baca juga: Uang Konsumen Akan Dikembalikan, DPR Kawal Skema Titip Jual Apartemen Meikarta
"Saat kami berkunjung ke lapangan, pihak Meikarta mengakui bahwa (apartemen) yang terjual sebanyak 18.000 unit. Mereka juga menyatakan sudah melakukan serah terima 4.800 unit. (Kami pun mempertanyakan unit) yang mana saja (yang sudah diserahkan)?" terang Hekal.
Hal yang disesalkan adalah cara promosi pihak Meikarta beberapa tahun silam yang gembar-gembor menyatakan sudah menjual 100.000 unit apartemen. Ini dijadikan sebagai salah satu strategi pemasaran.
Pantauan Kompas.com, hal serupa sempat disuarakan CEO Lippo Group James Riady saat talkshow bertajuk “BTN Golden Property Awards” di Jakarta, Senin (11/9/2017).
Kala itu, ia mengatakan bahwa unit apartemen terjual sebanyak 130.000 unit dengan 32.000 unit di antaranya sudah kredit pemilikan apartemen (KPA).
Baca juga: Uang Konsumen Meikarta Dikembalikan lewat Titip Jual, Bagaimana Prosesnya?
Sering waktu berjalan, pihak Meikarta tak bisa membuktikan klaim ratusan ribu unit terjual yang sempat digembar-gemborkan itu.
Hekal menjelaskan, Meikarta kala itu juga mengumbar janji untuk menghadirkan konsep hunian affordable housing. Salah satu jenis apartemen studio dipasarkan seharga Rp 285 juta.
"Hari ini (asumsi kami), mereka sudah enggak bisa lagi jual apartemen dengan harga tersebut. Pasalnya, untuk bangun apartemen saat ini mungkin butuh Rp 7,5 juta - Rp 8,5 juta per meter persegi. Jadi, (jika dihitung dengan harga lama, mereka) sudah rugi. Lantas, mengapa kerugiannya dibebankan kepada konsumen?" tambahnya.
Lebih lanjut Hekal mengungkapkan keluhan konsumen yang didengarnya, yakni mereka seakan-akan dipaksa untuk menukar unit yang nilai jualnya berbeda dengan yang dipesan.
Bahkan, tak sedikit pula konsumen yang disuruh tukar unit sebanyak dua kali dengan unit lain yang harganya Rp 600 jutaan.
Baca juga: Meikarta dalam Kubangan Kontroversi
"Setelah kami tinjau langsung ke lokasi, pihak pengembang Meikarta menjamin (secara lisan) akan menyelesaikan semuanya. Seluruh konsumen yang masih punya purchase order (PO) atau surat pesanan dan sudah ada uang di sana (Meikarta) akan diselesaikan semua. Untuk itu, kami akan terus mengawal hingga Meikarta mewujudkan komitmennya," tegas Hekal.
Berangkat dari polemik antara konsumen Meikarta dan pengembang, Hekal pun mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menilai perusahaan pengembang properti sebelum membeli.
Masyarakat juga diimbau untuk cermat dan kritis terhadap berbagai penawaran masif yang dilakukan tenaga penjual properti. Pasalnya, nama besar pengembang bukanlah jaminan.
"(Sekaliber Lippo saja) bisa kejadian. Kalau lihat nama besar developer, tak menjamin bisa mengetahui detail 'isi perutnya'. Kalau misal beli unit properti, legalitas tanahnya beres enggak? Kan konsumen enggak bisa lihat," ujarnya.
Masyarakat juga perlu mengetahui apakah developer telah memenuhi seluruh syarat dan ketentuan untuk mulai berjualan atau tidak. Pasalnya, developer hanya bisa memulai penjualan bila properti sudah terbangun 20 persen.
Ketentuan tersebut sesuai UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang kedudukannya kini digantikan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
"Terkadang, masih dalam bentuk gambar atau miniatur saja konsumen sudah disuruh bayar down payment (DP). Selain itu, sudah mulai pembangunan tapi belum mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Siapa yang mau (dan bertanggung jawab untuk) periksa seluruh detail tersebut?" tambahnya.
Karena itu, lanjut Hekal, pihaknya berpendapat bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) harus kembali difungsikan secara optimal untuk melakukan pengawasan, termasuk dari segi pengawasan perjanjian.
Pasalnya, tanpa ada intervensi pemerintah melalui lembaga, kata dia, sehebat-hebatnya konsumen dalam memilih developer dan nama besar pengembang, masyarakat tetap berpotensi mengalami kerugian.
Baca juga: Babak Baru Meikarta: Gugatan Dicabut dan Buka Mekanisme Pengembalian Uang
BPKN juga ke depan bisa diberi kewenangan untuk hands-on approach atau penanganan langsung terhadap perkara-perkara yang dialami oleh konsumen.
"Ketika mengalami kerugian seperti konsumen Meikarta, (konsumen) harus cari bantuan pihak lain untuk bisa meramaikan. Hal seperti ini tentu tidak diinginkan,” kata Hekal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.