JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Buruh menolak Rancangan Undang-Undang Kesehatan karena dinilai bakal mendelegitimasi posisi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Deputi Bidang Perempuan Partai Buruh Jumisih mengatakan, yang dibutuhkan publik adalah pelayanan BPJS yang murah dan ramah, bukan memindahkan posisi BPJS di bawah kementerian.
"Yang kita butuhkan sebetulnya adalah bagaimana akses pelayanan publik yang ramah, murah, kepada masyarakat. Kalau BPJS itu berada di bawah kementerian, maka itu akan berdampak abuse of power," kata Jumisih dalam konferensi pers, Rabu (15/2/2023).
Jumisih menilai, ketentuan dalam RUU Kesehatan yang mengatur posisi BPJS yang berada di bawah kementerian akan menyebabkan lembaga tersebut tidak lagi memiliki independensi.
Baca juga: RUU Kesehatan Disetujui Jadi Inisiatif DPR, Hanya Fraksi PKS yang Menolak
Ia juga khawatir BPJS kelak hanya mengutamakan untung tetapi mengabaikan kondisi kesejahteraan masyarakat yang menjadi pesertanya.
"Apalagi dana BPJS itu adalah dana publik, buruh lah yang mengiur serta pengusaha, sehingga seharusnya pemerintah tidak cawe-cawe dalam urusan ini," kata Jumisih.
Jumisih lantas menyayangkan pembentukan RUU Kesehatan yang terkesan dilakukan tergesa-gesa padahal masih banyak yang menolak adanya RUU Kesehatan.
Seperti diketahui, RUU Kesehatan dibentuk menggunakan metode omnibus law sehingga merevisi sejumlah aturan secara sekaligus.
Diketahui, ada 15 UU yang akan disasar oleh RUU Kesehatan ini, di antaranya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Baca juga: RUU Kesehatan Omnibus Law: Diprotes IDI dan Partai Buruh, tapi Tetap Digas DPR
"Dalam draf RUU Kesehatan yang kami terima, ada beberapa pasal yang merevisi UU BPJS yang isinya sangat mengkhawatirkan akan mengganggu pengelolaan jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan," kata Ketua Umum Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) Saepul Tavip dalam siaran persnya, Jumat (27/1/2023).
Ia mencontohkan, Pasal 7 Ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan bahwa BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk BPJS Kesehatan; dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan.
Sementara itu, di Pasal 13 huruf (k), BPJS berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian, yaitu penugasan dari Kementerian Kesehatan oleh BPJS Kesehatan dan penugasan dari Kementerian Ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Padahal, di UU BPJS sangat jelas direksi dan dewan pengawas BPJS bertanggungjawab langsung kepada presiden. Direksi maupun dewan pengawas tidak ada mengatur untuk melaksanakan penugasan dari menteri.
Baca juga: PKS Tolak RUU Kesehatan Jadi Inisiatif DPR di Rapat Paripurna, Ini Alasannya
Demikian juga dalam proses pelaporan pelaksanaan setiap program termasuk kondisi keuangan. Dalam naskah RUU Kesehatan BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala 6 bulan sekali kepada presiden melalui Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 13 huruf (l).
Sementara dalam UU BPJS, BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala 6 bulan sekali langsung kepada presiden tanpa melalui menteri, dengan tembusan kepada DJSN.