JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR sekaligus Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid mengaku tidak mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas anjloknya indeks persepsi korupsi (IPK) ke angka 34.
Sebagai informasi, IPK atau corruption perceptions index (CPI) mengukur persepsi korupsi di sektor publik.
CPI dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) dengan mengurutkan 180 negara tingkat korupsi di dunia. Negara dengan skor 0 berarti sangat rawan korupsi sementara 100 bebas korupsi.
"Ya, biasa naik turun begitu, saya tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab dari situ," kata Jazilul saat ditemui awak media di kompleks DPR-MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (5/2/2023).
Baca juga: IPK 2022 Sama dengan 2014, Pengamat Sebut Jokowi Belum Berkontribusi dalam Pemberantasan Korupsi
Ketika ditanya apakah Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK menjadi penyebab IPK tersebut turun, ia enggan menjawab.
Sebagai informasi, selama ini, banyak pihak menilai UU tersebut melemahkan KPK.
Jazilul meminta jangan ada pihak yang mencari kambing hitam atas anjloknya skor IPK dari 38 menjadi 34, terburuk sejak reformasi.
"Ya, apa karena itu (UU KPK) artinya, jangan mencari kambing hitamnya. Kalau karena itu, coba lagi direvisi lagi. Apa soal dari situ," ujar Jazilul.
Baca juga: IPK Indonesia Turun, Janji Jokowi Lawan Korupsi Dinilai Tak Bermakna
Menurutnya, skor IPK setiap tahun bergerak dinamis, kadang berkurang dan bertambah. Ia menilai naik atau turunnya skor IPK tidak berdampak terhadap apapun.
Meski demikian, ia meminta skor IPK tersebut diperbaiki.
"Kalau naik turunnya indeks persepsi korupsi, saya pikir sudah tiap tahun itu. Naik biasa, turun juga biasa. Enggak ada efek apa-apa," katanya.
Sebelumnya, TII merilis IPK Indonesia merosot 4 poin menjadi 34 pada tahun 2022.
Selain itu, Indonesia juga turun peringkat berada di posisi ke 110. Turun 14 peringkat dari tahun sebelumnya di tingkat 96.
Baca juga: Mahfud Klaim Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun karena Kolusi di Izin Usaha
Deputi Sekretaris Jenderal TII, Wawan Suyatmiko mengatakan, pihaknya menggunakan sembilan indikator dalam pengukuran CPI.
Adapun salah satu indikator yang menjadi sorotan adalah Political Risk Service (PRS) atau risiko politik.
Indikator ini turun 13 poin dari 48 pada 2021 menjadi 35 pada 2022.
Sementara itu, penurunan dalam jumlah lebih dari 4 poin menunjukkan adanya perubahan signifikan.
“Itu turut menyumbang penurunan CPI kita dari 38 ke 34 tahun ini,” ujar Wawan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.