Terdakwa didakwa jaksa melanggar Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 juncto Pasal 55 Ayat (1), juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP atau Pasal 378 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP atau Pasal 372 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Keberadaan pasal tersebut secara normatif sudah membantu memberikan jalan kecil untuk melindungi rakyat. Dalam kondisi saat ini sudah tepat penuntut umum mendakwakan pasal tersebut, karena setiap perbuatan kriminal harus mengacu kepada asas legalitas.
Maksud legalitas tersebut dinyatakan dalam pasal 1 KUHP “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Asas legalitas tersebut dipertahankan oleh KUHP baru pasal 1 ayat (1) UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP, “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
Dengan demikian, meskipun dipandang ada unsur kerugian perekonomian negara, unsur tersebut tidak perlu dibuktikan karena bukan merupakan bagian delik dari pasal yang didakwakan.
Bagaimana undang-undang memandang korupsi? Korupsi masih dipandang berbasis kepada pelaku. Pelaku korupsi harus melibatkan penyelenggara negara, PNS, BUMN, dan kalaupun ada swasta, maka swasta tersebut harus melibatkan dan mengikut sertakan peran publik dalam perbuatan korupsinya tersebut.
Oleh karena itu, meski ada perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan korupsi, namun pelakunya tidak atau bukan merupakan pelaku kategori publik, maka harus dipandang bukan sebagai tindak pidana korupsi.
Oleh karena itulah, kasus Indosurya dalam kondisi saat ini tidak mungkin dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, meskipun dunia perkoperasian dan nasabah sudah dirugikan karena perbuatan tersebut.
Konvensi antikorupsi PBB tahun 2003 atau UNCAC 2003 telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.7 tahun 2006.
Isi dari konvensi PBB tersebut selain dari korupsi sektor publik, juga mengatur korupsi sektor swasta atau sektor privat, di antaranya suap pada sektor swasta (Pasal 21 UNCAC) dan penggelapan kekayaan pada sektor swasta (artikel 22 UNCAC 2003).
Dengan demikian, UNCAC 2003 memandang bahwa perbuatan korupsi tersebut tidak terbatas kepada pelaku yang melakukannya, tapi adalah korupsi adalah bentuk perilaku, korupsi tidak bisa dibedakan dan dipisahkan berdasarkan kepada subjek hukum.
Berbagai keberhasilan pemberantasan korupsi yang telah ditangani oleh Kejaksaan Agung dalam mengungkap kerugian di sektor perekonomian negara sepertinya layak menjadi best practice, meski pelaku tersebut masih ada berkaitan dengan pelaku publik juga.
Diungkapkannya kasus korupsi kelangkaan minyak goreng awal 2022, yang berujung dihukumnya pelaku korupsi minyak goreng tersebut, lalu kasus korupsi ASABRI, Jiwasraya, kasus Duta Palma, dan lainnya, setidaknya bisa dijadikan kisah sukses untuk penanganan korupsi yang berparadigma kerugian perekonomian negara.
Sanksi bagi pelaku korupsi yang berat akan memberikan takut bagi pelaku dan calon pelaku untuk tidak melakukan perbuatan korupsi kedepanya, karena akan mengalami kerugian yang besar bagi bisnis mereka.
Untuk membuat pembaharuan hukum korupsi dengan kesamaan norma korupsi sebagai norma universal, dibutuhkan political will pembentuk undang-undang agar mengharmoniskan undang-undang tipikor dengan UNCAC 2003 (UU No.7 tahun 2006).
Dengan adanya pembaruan hukum korupsi, maka permasalahan terkait kasus Asuransi Bumi Putra, Asuransi Wana Arta, Kasus Indosurya, kasus sepak bola gajah, dan lainnya yang murni dilakukan oleh pelaku swasta bersama dengan pelaku swasta, tentulah dapat disanksi dengan undang-udang Tipikor.
Pembaharuan hukum korupsi tersebut juga akan mendorong kehati-hatian dari pelaku bisnis untuk melaksanakan doktrin BJR dengan benar. Akhirnya mereka akan memilih tidak melakukan korupsi karena risiko yang dihadapi sangat tinggi.
Paling utama negara dapat terlibat langsung untuk menagih dan memulihkan kerugian perekonomian negara yang terjadi disebabkan oleh perbuatan korupsi tersebut dengan menggunakan instrument sanksi dari tindak pidana korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.