Belum ada sosok cawapres yang definitif. Baik AHY dan Aher masih menunggu pinangan. Ibarat pacar, status mereka belum jelas.
Anies masih berkategori PHP alias Pemberi Harapan Palsu. Langkah Demokrat maupun PKS yang akan mendeklarasikan calon yang diusung Koalisi Perubahan, selalu diberi batas oleh Nasdem adalah mendeklarasikan Capres tanpa Cawapres.
Tidak berbeda nasibnya dengan Koalisi Perubahan, arah Koalisi Indonesia Bersatu yang berintikan gabungan Golkar, PPP dan PAN juga mandek di tempat. Masing-masing ketua umum partai, minus PPP mengaku paling pas menjadi Capres.
Baik Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulkifli Hasan (PAN) tidak pernah masuk dalam jajaran tiga besar peraih elektabilitas tertinggi sebagai Capres 2024. “Kelas” mereka masih cocok untuk porsi Cawapres asal digandengkan dengan figur Capres yang potensial “menang”.
Koalisi Indonesia Bersatu justru paling sibuk menyediakan “lapaknya” untuk figur-figur potensial. Baru-baru ini, Ridwan Kamil sosok kepala daerah yang paling “genit” di media sosial bergabung di Partai Golkar.
Gubernur Jawa Barat yang sohor dengan panggilan RK ini melepas status “jomblonya” tanpa partai dengan berlabuh ke Golkar, setelah sebelumnya aktif di Kosgoro 1956.
RK sadar, tanpa kendaraan tunggangan partai, karirnya sebagai politisi berprospek akan pudar di masa depan.
RK pasti sudah melakukan kalkulasi politik sebelum bergabung ke Golkar mengingat pintu masuk ke PDIP, Gerindra dan Nasdem sudah tertutup dan dirinya mencoba “membuka” pintu yang lain, yakni melalui Golkar.
Di Golkar, RK harus sadar diri mengingat Airlangga Hartarto sudah dideklarasikan sebagai Capres resmi dari “kuning”.
Kini napas politik RK disandarkan dengan potensi dirinya menjadi Cawapres andai arah Koalisi Indonesia Baru dan Golkar juga mengalami stagnasi.
Di antara nama-nama Cawapres di Pilpres 2024, nama RK memang paling seksi mengingat jejak rekamnya di pemerintahan dan kepiawaian tim-nya dalam mengemas konten-konten yang menarik milenial.
Tidak salah jika oleh elite Golkar, RK “dikunci” dengan penugasan untuk menggelorakan Airlangga dan Golkar di media sosial. Alih-alih dinominasikan menjadi Cawapres, apalagi Capres.
Sementara di internal PPP dan PAN, juga tidak kalah sibuknya menyediakan “outlet” bagi tokoh-tokoh nasional yang sejak awal diduga ingin running di Pilpres 2024 sebagai Cawapres.
Nama Menteri BUMN Erick Thohir terbilang paling kerap menghadiri acara-acara yang dihelat PPP atau PAN.
Sebagai kekuatan politik menengah dan diprediksi akan mengalami penurunan suara di parlemen, PAN dan PPP sadar diri untuk menggaet sosok-sosok “moncer” akan terkena imbas efek ekor jas.
Seolah ingin menangguk dua advantage politik, ke dua partai ini jelas ingin imbas suara dan potensi logistik untuk pemilu mendatang.
Usai saling membanggakan sebagai sosok Capres yang paling pantas, akhirnya PKB sadar diri jika nama Prabowo Subianto masih lebih laku “dijual” ketimbang nama Muhaimin Iskandar.
Begitu PKB mengalah tetapi Gerindra semakin tinggi hati. Ikatan kerjasama kedua partai itu tidak kunjung juga mengumumkan siapa Cawapres pendamping Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Usai berkali-kali melakukan “gertakan” politik dengan ancaman akan keluar dari kesepakatan “Kertanegara”, yakni lokasi kediaman Prabowo yang menjadi tempat kesepakatan ke dua partai di awal terbentuknnya jalinan koalisi, Gerindra pun mulai melunak.
PKB merasa pihaknya sudah rela berkorban dengan menurunkan target Cak Imin yang semula membidik posisi nomor 1, sekarang pun siap “di duakan”.