Pembentukan Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra dan PKB sebagai langkah terbaru, tetap saya yakini sebagai cara Gerindra untuk mengulur-ulur waktu untuk mencari sosok Cawapres yang lebih pas ketimbang Cak Imin.
Hasil Ijtima ulama-ulama yang tergabung di PKB bahkan meminta agar pengumuman pasangan Capres – Cawapres Koalisi Gerindra – PKB bisa dilakukan sebelum Puasa nanti.
Artinya PKB mematok target sebelum minggu ke-3 Maret 2023 akan jelas posisi Cak Imin di Pilpres 2024.
Prabowo tentu tidak mau trauma kekalahan di tiga kali Pilpres akan terus menghantui dirinya di penghujung akhir karir politiknya. Pilpres 2024 merupakan “the last battle” bagi perjalanan panjang Prabowo Subianto di politik.
Bekal sukses menjadi Menteri Pertahanan di era Presidensi Jokowi yang terakhir harus dikapitalisasi menjadi besarnya peluang menjadi pengganti Jokowi.
Apalagi Jokowi selain kepada Ganjar Pranowo, juga kerap memberi “kode keras” mengendors Prabowo sebagai sosok yang layak menjadi penerusnya.
Prabowo butuh lapis pengaman lagi di koalisinya. Selain PKB, Prabowo masih berharap tambahan partai lain untuk menggenapi koalisi Kertanegara.
Prabowo sepertinya berharap “bola muntah” dari koalisi-koalisi lain andai bubar jalan. Dari Koalisi Perubahan, Prabowo berharap PKS bisa bergabung dan dari Koalisi Indonesia Baru, bisa PPP atau PAN yang akan berlabuh ke Kertanegara.
Dilihat dari komposisinya, Gerindra dan PKB adalah kombinasi yang paling “yahud” mengingat dua aras politik besar bisa bersatu. PKB mewakili Nadhliyin dan Gerindra menjadi representasi kekuatan nasionalis.
Bisa jadi Prabowo juga masih menunggu kemungkinan PDIP bergabung andai partai besutan Megawati Soekarnoputeri ini tidak jadi mengusung Ganjar Pranowo.
Berbagai kalangan termasuk saya pribadi meyakini, titik lemah PDIP di Pilpres 2024 adalah salah dalam mengusung sosok Capres yang diinginkan calon pemilih. Nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo adalah kekuatan riil di akar rumput.
Mencermati arah koalisi di Pilpres 2024 ini, mirip seperti pola permainan “lato-lato” yang kini digemari semua kalangan usia.
Lato-lato sebenarnya adalah permainan monoton karena saling membenturkan dua bola dengan bunyi yang berisik. Permainan lato-lato akan berhenti dengan sendirinya ketika sang pemain merasa letih.
Arah koalisi kita kerap terdengar “membahana” di awal, namun loyo dalam perjalanannya. Bisa jadi untuk saling mengamankan posisi di Pilpres nanti, ikatan koalisi seperti layaknya sinetron “Ikatan Cinta” yang ditinggal pemainnya, Amanda Manoppo.
Partai tidak merasa terikat dengan partai-partai lainnya karena demi kepentingan kekuasaan. Bukankah posisi menjadi nomor dua dan iming-iming porsi kekuasaan serta kompensasi logistik untuk pertarungan pemilu menjadi lebih penting ketimbang janji-janji tak berujung?
Seperti kalimat penyemangat dari anak muda yang merasa tidak kenal untuk menggaet pasangan cintanya.
“Selama janur kuning belum melengkung, arah koalisi masih bisa ditelikung”. Selama tenda hajatan perkawinan belum terpasang maka calon pengantin masih bisa direbut.
Selamat menyaksikan atraksi-atraksi politik demi ambisi politik yang tidak berkesudahan. Masih adakah koalisi dibentuk untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil? Mari kita bermain lato-lato....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.