Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Janur Kuning Belum Melengkung, Arah Koalisi Bisa Ditelikung

Kompas.com - 25/01/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT saya mengikuti perkuliahan di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, ada satu mata kuliah yang menjadi momok banyak mahasiswa di era 1985 - 1988.

Nama mata kuliahnya, Kimia Fisika. Kimia saja sudah bikin bingung, tambah lagi dengan Fisika yang rumit. Alhasil, saya gagal lulus dan mengulang lagi.

Di perpolitikan nasional, ternyata ada lagi yang lebih rumit bahkan mampu mengalahkan peliknya memececahkan soal hitung-hitungan di mata kuliah Kimia Fisika. Namanya koalisi.

Rukun dan kompak saat awal mendeklarasikan pembentukkan gabungan partai-partai agar bisa mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Namun siapa nyana, ketika proses penentuan sosok capres dan cawapres, koalisi bisa terancam “bubar jalan”.

Hanya gara-gara tidak ada yang mau ngalah dan merasa paling hebat, potensi kemenangan koalisi bisa terancam bubar.

Seperti semacam rapor di sekolah atau nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saat perkuliahan, terkadang point elektabilitas calon menjadi mantera “jualan” untuk meninggikan posisi tawar.

Elektabilitas rendah kerap dianggap “pasti kalah” atau tidak laku di pasar politik. Kurang populer dinilai lemah dan payah “bermain” di pencitraan media, terutama media sosial.

Siapa yang menyangka, saat mau maju di Pilkada DKI Jakarta di 2012 silam, elektabilitas Joko Widodo dianggap “papan bawah” ketimbang petahana Fauzi Bowo.

Modal menjadi Wali Kota Solo, belum dianggap setara melawan Gubernur DKI. Belum lagi panen dukungan dari banyak partai di kubu Fauzi Bowo, melawan gabungan partai oposisi kala itu di pihak Jokowi.

Politik itu kerap absurd, tidak masuk akal dan susah diprediksikan. Logika berpikir dan alur rasionalitas, kerap “dijungkir-balikkan” dalam perpolitikan.

Calon yang diramal menang – baik melalui parameter ilmiah seperti survei dan penerawangan dukun – kerap terbalik hasilnya.

Jelang Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024, gabungan partai-partai melakukan “grouping” agar kecukupan suara bisa terpenuhi untuk mengusung pasangan capres-cawapres.

Berbeda dengan PDIP yang bisa maju dan mencalonkan sendiri pasangan capres-cawapres tanpa berkoalisi dengan partai-partai lain.

Di awal, Nasdem dengan “gagah berani” mencalonkan bekas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres bersama dua partai lainnya Demokrat dan PKS.

Anies adalah salah satu magnet capres dengan elektabilitas yang menjanjikan. Pengalamannya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang berhasil mengalahkan Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama di Pilkada DKI 2018 dianggap sebagai modal penting untuk palagan perikutnya di Pilpres 2024.

Jika ditelusuri sosok yang pantas menjadi “pengantin” Anies di Koalisi Perubahan tentu adalah sosok yang disodorkan PKS, Ahmad Heryawan.

Gubernur Jawa Barat dua periode yang lebih dikenal dengan nama Aher, memiliki pengalaman kepala daerah di daerah yang luas dengan penduduk yang besar, Jawa Barat.

Namun, kengototan kubu Demokrat yang berdasar point elektabiltas dan porsi kursi Demokrat di parlemen yang lebih besar maka sosok Agus Harimurti Yudhoyono yang lebih pantas mendampingi Anies Baswedan.

Hingga kini arah Koalisi Perubahan masih belum jelas dan tim kecil yang ditugasi melakukan harmonisasi di antara tiga partai masih jalan di tempat.

Anies yang diminta mencari calon pendamping pun, masih lebih sibuk melakukan roadshow ke berbagai daerah.

Belum ada sosok cawapres yang definitif. Baik AHY dan Aher masih menunggu pinangan. Ibarat pacar, status mereka belum jelas.

Anies masih berkategori PHP alias Pemberi Harapan Palsu. Langkah Demokrat maupun PKS yang akan mendeklarasikan calon yang diusung Koalisi Perubahan, selalu diberi batas oleh Nasdem adalah mendeklarasikan Capres tanpa Cawapres.

Elite sibuk manuver, koalisi menjadi hampa

Para pimpinan partai dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yaitu Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan dan Wakil Ketua Umum PPP Amir Uskara saat konsolidasi KIB, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (20/10/2022).KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA Para pimpinan partai dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yaitu Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan dan Wakil Ketua Umum PPP Amir Uskara saat konsolidasi KIB, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Tidak berbeda nasibnya dengan Koalisi Perubahan, arah Koalisi Indonesia Bersatu yang berintikan gabungan Golkar, PPP dan PAN juga mandek di tempat. Masing-masing ketua umum partai, minus PPP mengaku paling pas menjadi Capres.

Baik Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulkifli Hasan (PAN) tidak pernah masuk dalam jajaran tiga besar peraih elektabilitas tertinggi sebagai Capres 2024. “Kelas” mereka masih cocok untuk porsi Cawapres asal digandengkan dengan figur Capres yang potensial “menang”.

Koalisi Indonesia Bersatu justru paling sibuk menyediakan “lapaknya” untuk figur-figur potensial. Baru-baru ini, Ridwan Kamil sosok kepala daerah yang paling “genit” di media sosial bergabung di Partai Golkar.

Gubernur Jawa Barat yang sohor dengan panggilan RK ini melepas status “jomblonya” tanpa partai dengan berlabuh ke Golkar, setelah sebelumnya aktif di Kosgoro 1956.

RK sadar, tanpa kendaraan tunggangan partai, karirnya sebagai politisi berprospek akan pudar di masa depan.

RK pasti sudah melakukan kalkulasi politik sebelum bergabung ke Golkar mengingat pintu masuk ke PDIP, Gerindra dan Nasdem sudah tertutup dan dirinya mencoba “membuka” pintu yang lain, yakni melalui Golkar.

Di Golkar, RK harus sadar diri mengingat Airlangga Hartarto sudah dideklarasikan sebagai Capres resmi dari “kuning”.

Kini napas politik RK disandarkan dengan potensi dirinya menjadi Cawapres andai arah Koalisi Indonesia Baru dan Golkar juga mengalami stagnasi.

Di antara nama-nama Cawapres di Pilpres 2024, nama RK memang paling seksi mengingat jejak rekamnya di pemerintahan dan kepiawaian tim-nya dalam mengemas konten-konten yang menarik milenial.

Tidak salah jika oleh elite Golkar, RK “dikunci” dengan penugasan untuk menggelorakan Airlangga dan Golkar di media sosial. Alih-alih dinominasikan menjadi Cawapres, apalagi Capres.

Sementara di internal PPP dan PAN, juga tidak kalah sibuknya menyediakan “outlet” bagi tokoh-tokoh nasional yang sejak awal diduga ingin running di Pilpres 2024 sebagai Cawapres.

Nama Menteri BUMN Erick Thohir terbilang paling kerap menghadiri acara-acara yang dihelat PPP atau PAN.

Sebagai kekuatan politik menengah dan diprediksi akan mengalami penurunan suara di parlemen, PAN dan PPP sadar diri untuk menggaet sosok-sosok “moncer” akan terkena imbas efek ekor jas.

Seolah ingin menangguk dua advantage politik, ke dua partai ini jelas ingin imbas suara dan potensi logistik untuk pemilu mendatang.

Akankah Nadhliyin menggaet Garuda?

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin meresmikan kantor Sekber Gerindra-PKB, Jakarta Pusat, Senin (23/1/2023). KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin meresmikan kantor Sekber Gerindra-PKB, Jakarta Pusat, Senin (23/1/2023).
Perjalanan relasi politik yang “naik turun” antara PKB dan Gerindra juga semakin melengkapi arah koalisi-koalisi di Pilpres 2024 masih cair bahkan meleleh.

Usai saling membanggakan sebagai sosok Capres yang paling pantas, akhirnya PKB sadar diri jika nama Prabowo Subianto masih lebih laku “dijual” ketimbang nama Muhaimin Iskandar.

Begitu PKB mengalah tetapi Gerindra semakin tinggi hati. Ikatan kerjasama kedua partai itu tidak kunjung juga mengumumkan siapa Cawapres pendamping Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Usai berkali-kali melakukan “gertakan” politik dengan ancaman akan keluar dari kesepakatan “Kertanegara”, yakni lokasi kediaman Prabowo yang menjadi tempat kesepakatan ke dua partai di awal terbentuknnya jalinan koalisi, Gerindra pun mulai melunak.

PKB merasa pihaknya sudah rela berkorban dengan menurunkan target Cak Imin yang semula membidik posisi nomor 1, sekarang pun siap “di duakan”.

Pembentukan Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra dan PKB sebagai langkah terbaru, tetap saya yakini sebagai cara Gerindra untuk mengulur-ulur waktu untuk mencari sosok Cawapres yang lebih pas ketimbang Cak Imin.

Hasil Ijtima ulama-ulama yang tergabung di PKB bahkan meminta agar pengumuman pasangan Capres – Cawapres Koalisi Gerindra – PKB bisa dilakukan sebelum Puasa nanti.

Artinya PKB mematok target sebelum minggu ke-3 Maret 2023 akan jelas posisi Cak Imin di Pilpres 2024.

Prabowo tentu tidak mau trauma kekalahan di tiga kali Pilpres akan terus menghantui dirinya di penghujung akhir karir politiknya. Pilpres 2024 merupakan “the last battle” bagi perjalanan panjang Prabowo Subianto di politik.

Bekal sukses menjadi Menteri Pertahanan di era Presidensi Jokowi yang terakhir harus dikapitalisasi menjadi besarnya peluang menjadi pengganti Jokowi.

Apalagi Jokowi selain kepada Ganjar Pranowo, juga kerap memberi “kode keras” mengendors Prabowo sebagai sosok yang layak menjadi penerusnya.

Prabowo butuh lapis pengaman lagi di koalisinya. Selain PKB, Prabowo masih berharap tambahan partai lain untuk menggenapi koalisi Kertanegara.

Prabowo sepertinya berharap “bola muntah” dari koalisi-koalisi lain andai bubar jalan. Dari Koalisi Perubahan, Prabowo berharap PKS bisa bergabung dan dari Koalisi Indonesia Baru, bisa PPP atau PAN yang akan berlabuh ke Kertanegara.

Dilihat dari komposisinya, Gerindra dan PKB adalah kombinasi yang paling “yahud” mengingat dua aras politik besar bisa bersatu. PKB mewakili Nadhliyin dan Gerindra menjadi representasi kekuatan nasionalis.

Bisa jadi Prabowo juga masih menunggu kemungkinan PDIP bergabung andai partai besutan Megawati Soekarnoputeri ini tidak jadi mengusung Ganjar Pranowo.

Berbagai kalangan termasuk saya pribadi meyakini, titik lemah PDIP di Pilpres 2024 adalah salah dalam mengusung sosok Capres yang diinginkan calon pemilih. Nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo adalah kekuatan riil di akar rumput.

Koalisi ibarat permainan lato-lato

Mencermati arah koalisi di Pilpres 2024 ini, mirip seperti pola permainan “lato-lato” yang kini digemari semua kalangan usia.

Lato-lato sebenarnya adalah permainan monoton karena saling membenturkan dua bola dengan bunyi yang berisik. Permainan lato-lato akan berhenti dengan sendirinya ketika sang pemain merasa letih.

Arah koalisi kita kerap terdengar “membahana” di awal, namun loyo dalam perjalanannya. Bisa jadi untuk saling mengamankan posisi di Pilpres nanti, ikatan koalisi seperti layaknya sinetron “Ikatan Cinta” yang ditinggal pemainnya, Amanda Manoppo.

Partai tidak merasa terikat dengan partai-partai lainnya karena demi kepentingan kekuasaan. Bukankah posisi menjadi nomor dua dan iming-iming porsi kekuasaan serta kompensasi logistik untuk pertarungan pemilu menjadi lebih penting ketimbang janji-janji tak berujung?

Seperti kalimat penyemangat dari anak muda yang merasa tidak kenal untuk menggaet pasangan cintanya.

“Selama janur kuning belum melengkung, arah koalisi masih bisa ditelikung”. Selama tenda hajatan perkawinan belum terpasang maka calon pengantin masih bisa direbut.

Selamat menyaksikan atraksi-atraksi politik demi ambisi politik yang tidak berkesudahan. Masih adakah koalisi dibentuk untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil? Mari kita bermain lato-lato....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Nasional
Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Nasional
Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Nasional
Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Nasional
KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

Nasional
Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Nasional
Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Nasional
Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Nasional
Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Nasional
Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Nasional
Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Nasional
Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Nasional
Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Nasional
Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Nasional
Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com