Mahfud mengakui, para korban pelanggaran HAM berat yang akan ditemui itu termasuk warga Indonesia yang selama ini tidak bisa pulang ke Tanah Air karena peristiwa 1965-1966.
Mahfud pun mempersilakan para eksil tersebut untuk pulang ke Indonesia karena mereka punya hak sebagai warga negara untuk kembali.
"Kita akan umumkan mereka punya hak sepenuhnya sebagai warga negara, tinggal milih aja, mereka kan sudah ada istri anak di sana," ujar dia.
Pada Senin kemarin, Jokowi juga menerima jajaran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk membahas penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menerangkan, Komnas HAM mencatat sedikitnya ada 6.000 korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diverifikasi oleh mereka.
Sebanyak 6.000 orang itu antara lain adalah korban peristiwa 1965, peristiwa Tanjung Priok, maupun kasus penghilangan paksa.
"Di Komnas HAM sendiri sampai saat ini ada 6.000 lebih sedikit berkas surat korban pelanggaran HAM berat yang sudah diverifikasi oleh Komnas HAM dan itu sudah diberikan kepada korban, tentu kita bicara jumlah korban yang jauh lebih besar dari 6.000 itu," kata Atnike seusai pertemuan.
Atnike mengungkapkan, surat tersebut merupakan bukti pengakuan negara terhadap individu-individu yang telah mengalami pelanggaran HAM berat.
Menurut Atnike, pengakuan ini penting untuk mencatat jumlah korban pelanggaran HAM berat yang perlu mendapat pemulihan hak dari pemerintah dalam rangka penyelesaian non-yudisial.
"Kami siap mendukung pemerintah untuk upaya-upaya verifikasi korban agar mereka mendapatkan status yang resmi dan mendapatkan haknya," katanya.
Baca juga: Mahfud Ungkap Sulitnya Proses Hukum Pelanggaran HAM Berat: Fakta Ada, Bukti Nihil
Terkait penyelesaian secara yudisial, Komnas HAM juga berencana untuk menyamakan standard penyelidikan dan penyidikan dengan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Sebab, pengusutan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terhambat karena banyak perkara yang terhenti di Kejagung akibat perbedaan prosedur oleh kedua lembaga.
"Kita berharap dengan perbaikan standar atau prosedur penyelidikan penyidikan tersebut di antara dua lembaga ini maka proses yudisial akan dapat berjalan dengan lebih efektif," ujar Atnike.
Namun, Atnike tidak bisa menjamin kapan 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah dapat diselesaikan secara yudisial karena masih menunggu kesepakatan soal standar penyelidikan dan penyidikan.
Baca juga: Dianggap Aib, Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Petrus Terkendala
"Kalau itu belum tercapai, kami tidak bisa bicara kapan rentang waktu atau target yang memungkinkan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat secara yudisial karena kita biara prosedur pengadilan itu kan bicara prosedur yang sangat teknis," katanya.
Adapun 12 pelanggaran HAM berata yang dimaksud adalah peristiwa 1965-1966; penembakan misterius (1982-1985); peristiwa Talangsari, Lampung (1989); peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis, Aceh (1989); peristiwa penghilangan orang secara paksa (1997-1998).
Kemudian, kerusuhan Mei (1998); peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II (1998-1999); peristiwa pembunuhan dukun santet (1998-1999); peristiwa Simpang KKA, Aceh (1999); peristiwa Wasior, Papua (2001-2002); peristiwa Wamena, Papua (2003); dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh (2003).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.