JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) Hasto Atmojo memaparkan kendala yang dialami buat pemulihan keluarga korban kasus penembakan misterius (Petrus) yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada 1980-an silam.
"LPSK sudah melayani 4.332, (namun) belum semua (korban) tindak pidana itu mengajukan sebagai terlindung LPSK, misalnya untuk kasus Petrus," kata Hasto dalam acara refleksi LPSK 2022 di Ciracas, Jakarta Timur, Jumat (13/1/2023) pekan lalu.
"Keluarganya kan mengaku risih kalau sebagai keluarga korban. Karena stempelnya kan beda dengan yang lain-lain," sambung Hasto.
Adapun pemulihan yang diberikan LPSK untuk para korban yaitu rehabilitasi medis, psikologis bagi yang memerlukan, juga psikososial.
Terkait rekomendasi Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM) yang meminta adanya pemuluhan untuk korban 12 kasus pelanggaran HAM berat, LPSK mengatakan sudah berkoordinasi untuk mendata kembali para korban.
Baca juga: Anggota DPR Minta Pemerintah Ungkap Kebenaran Pelanggaran HAM Masa Lalu
LPSK mengatakan akan menarik data dari rekomendasi yang diberikan Komnas HAM terkait para korban.
"Paling tidak kebelakangnya kami bisa melacak dari orang-orang yang mendapat rekomendasi dari Komnas HAM sebagai korban," imbuh Hasto.
Hasto mengatakan, persentase data korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang ada saat ini masih kecil dibandingkan data sebenarnya.
Dia menilai, jumlah korban secara nyata masih banyak yang belum terdata, terlebih untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang kasusnya terjadi puluhan tahun silam.
"Tentu saja itu kalau dibandingkan jumlah korban yang real ya, yang dulunya memang menjadi korban persentasenya masih kecil," ujar Hasto.
Hasto mengatakan, LPSK hanya mengantongi data untuk yang menjadi terlindung saja.
Baca juga: Anggota DPR Sebut Jokowi Harus Tuntaskan Persoalan HAM Berat Sebelum Masa Jabatannya Habis
Penembakan misterius (Petrus) adalah kebijakan memerangi kejahatan yang diterapkan oleh pemerintahan rezim Orde Baru antara 1983 sampai 1985.
Operasi Petrus itu sejatinya adalah perampasan nyawa di luar pengadilan (extra judicial killing).
Hal itu dilakukan dengan dalih penanganan tindak kejahatan pada masa itu dinilai kurang efektif dan dinilai tidak memberikan efek gentar kepada pelaku.
Operasi itu dilakukan di beberapa wilayah lain yang dinilai rawan kriminalitas.