Menurut Jimly, Perppu a quo mengabaikan peran DPR sebagai lembaga legislasi dan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi.
Maka secara politik hukum, mengabaikan prinsip-prinsip konstitusi dan legislasi adalah tindakan melampaui hukum.
Kalau sudah melampaui hukum, maka presiden sebagaimana ketentuan pasal 7A UUD NRI dapat dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara dan melakukan perbuatan tercela.
Kalau itu terjadi, menurut Jimly, presiden dapat di-impeach Dengan ketentuan pasal 7B UUD 1945.
Persoalan dapat di-impeach atau tidak, tergantung kemauan politik DPR. Namun secara konstitusional, Perppu tidak boleh dikeluarkan hanya untuk menyelamatkan kepentingan kekuasaan, sebab Perppu adalah untuk menyelamatkan negara dari bahaya.
Kekuasaan yang menggunakan kegentingan untuk memaksakan diri menggunakan kekuasaan yang besar akan melahirkan pemerintahan otoriter.
Kegentingan itu harus nyata dan objektif, bukan subjektif. Mengeluarkan Perppu memang kewenangan subjektif, tetapi keluarnya perppu harus objektif.
Sebagaimana saya singgung di atas, membiasakan keadaan darurat dengan menggunakan kekuasaan maksimal berbahaya bagi negara hukum.
Sebab dalam keadaan pengecualian atau keadaan darurat presiden dapat menangguhkan hukum dan konstitusi dengan menggunakan kekuasaan yang besar menyatakan kehendaknya.
Kalau ini terjadi, maka kita akan bertemu dengan sejarah, di mana kondisi darurat akan melahirkan kekuasaan otoriter dan diktator.
Soekarno pernah menggunakan keadaan bahaya dengan mengeluarkan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya (selanjutnya disebut Perppu Keadaan Bahaya).
Perppu itu digunakan Soekarno untuk mengendalikan negara dengan cara-cara otoriter. Pada akhirnya Soekarno menjadi penguasa tunggal dari tahun 1959 sampai tahun 1965. Soekarno juga diangkat menjadi presiden seumur hidup.
Tapi tidak ada yang membayangkan, Perppu Keadaan Bahaya itu digunakan oleh Soeharto untuk menangkap dan mengadili orang-orang Soekarno dan digunakan orde baru selama 32 tahun berkuasa.
Sejarah yang sama terjadi di Republik Weimar (Reich Kedua/Jerman). Paul Von Hindenburg menggunakan keadaan pengecualian sebagaimana diatur dalam Konstitusi Weimar, dan membuat keadaan darurat secara terus menerus.
Tapi tidak ada yang menyangka bahwa kebiasaan Hindenburg digunakan Hitler untuk menyatakan keadaan bahaya dan keadaan pengecualian selama 12 tahun berkuasa.
Karena itu kita waspada dan khawatir, kalau keadaan darurat terus menerus menjadi alasan untuk menyangkal konstitusi dan membuat kekuasaan eksekutif menggunakan kekuasaan maksimal, bukan tidak mungkin akan keluar keadaan-keadaan bahaya selanjutnya.
Kalau itu terjadi, maka ada dua bahaya, bahaya otoritarianisme dan bahaya runtuhnya republik.
Keduanya harus kita hindari, karena itu kesadaran bernegara menjadi penting dan kearifan bernegara menjadi syarat untuk memperkuat negara hukum dan negara republik. Keduanya harus dijaga dan dirawat dengan kearifan, bukan kekuasaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.