Penelusuran Kompas.com, survei nasional Indikator Politik Indonesia (2021) membuktikan hanya 6,8 persen dari 1.200 responden yang tersebar di semua provinsi yang menyatakan bahwa responden merasa dekat dengan partai politik. Selebihnya, 92,3 persen, menjawab tidak merasa dekat.
Senada, hasil survei Poltracking Indonesia pada Mei 2022 menunjukkan dominan alasan publik memilih capres/cawapres adalah karena figurnya secara personal (51,4 persen) dan alasan figur tokoh partai/pimpinan partai hanya (14,5 persen).
Artinya, dominan karakteristik pemilih adalah pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan figur, bukan pemilih yang berbasis partai/pemilih loyal.
"Partai politik absen dalam kehidupan publik dan gagal menjalankan fungsi-fungsinya di luar pemilu.
"Akibatnya partai menggunakan praktik vote buying untuk mendapat dukungan pemilih," pungkas Hurriyah.
Baca juga: 8 Parpol Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Pengamat: Bentuk Perlawanan Terbuka
Sebelumnya, wacana soal sistem pemilu proporsional terbuka dan proporsional tertutup mengemuka setelah Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengungkap bahwa para politikus sebaiknya tidak mendaku diri sebagai "caleg".
Selain karena masa kampanye belum dimulai, judicial review atas sistem pemilu yang tengah bergulir di MK juga menjadi alasan.
Menurut Hasyim, seandainya MK mengabulkan sistem pemilu proporsional tertutup, maka upaya para "caleg" itu sia-sia.
Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang terkait perkara ini pada Selasa (17/1/2022) dan akan memanggil DPR dan pemerintah dalam persidangan.
Baca juga: Beragam Alasan PDI-P Dukung Pemilu dengan Proporsional Tertutup yang Ditentang 8 Parpol Lain
Sejauh ini, cuma PDI-P partai politik yang mendukung gagasan untuk kembali pada sistem proporsional tertutup.
Partai-partai politik lain, baik yang bercokol di DPR RI maupun nonparlemen, mengungkapkan penolakan mereka atas ide itu.
Namun, jauh sebelum Hasyim, politikus PDI-P sekaligus Ketua Badan Pengkajian MPR RI Djarot Syaiful Hidayat telah membawa wacana ini.
Dalam lawatannya ke kantor KPU RI pada September 2022, eks Gubernur DKI Jakarta itu menyinggung soal mahalnya biaya politik dan kaitannya dengan korupsi para anggota dewan akibat sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini.
"Pemilu di Indonesia itu sangat mahal, biaya dari APBN itu mungkin dari Rp 100 triliun untuk KPU dan Bawaslu. Sekarang coba kita hitung biaya yang dikeluarkan oleh kandidat, itu pasti lebih dari itu," ujar Djarot kepada wartawan di kantor KPU RI, Rabu (21/9/2022).
Djarot menilai, sistem proporsional tertutup juga bakal menciptakan persaingan yang lebih adil kepada para calon anggota legislatif.
Baca juga: 8 Parpol Tolak Pemilu Proporsional Tertutup, Mahfud MD: Silakan Saja, Pemerintah Tak Boleh Bersikap
"Tidak ada lagi pertarungan antarcalon, mereka-mereka yang sekarang mengurusi partai luar biasa, berkorban luar biasa, kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair," ujar politikus PDI-P.
"Maka kita dorong supaya kajian ini kita kembali ke sistem proposional yang murni, yang tertutup," imbuh dia.
Di sisi lain, ia juga mengungkit bahwa kerja KPU RI akan lebih efisien dengan sistem proporsional tertutup, karena format suara akan jauh lebih sederhana dengan hanya menampilkan lambang partai politik, tanpa harus mencetak daftar nama caleg di setiap dapil.
"Kami juga amat terkejut dengan sistem seperti ini, maka format suaranya KPU akan mencetak ada 2.593 model jenis berbeda-beda. Bayangkan, apa enggak pusing dengan waktu yang sangat singkat, di seluruh dapil," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.