JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung menuntut Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA dihukum 10 tahun penjara buntut kasus dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah.
Stanley diduga ikut terseret dalam kasus korupsi yang menjerat mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana.
Adapun tuntutan dibacakan di ruang sidang Hatta Ali, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat.
“(Menuntut Majelis Hakim) menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Stanley MA dengan pidana penjara selama 10 tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan,” kata Jaksa di ruang sidang, Kamis (22/12/2022).
Baca juga: Lin Che Wei Dituntut 8 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Ekspor CPO
Selain itu, Jaksa juga meminta Majelis Hakim menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa meminta pengadilan menyatakan bos perusahaan minyak goreng itu terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dengan Indra Sari dan terdakwa lainnya.
Hal ini sebagaimana dakwaan primair Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus tersebut, perusahaan yang berada di bawah naungan grup Permata Hijau mendapatkan perizinan ekspor (PE). Hal ini mengakibatkan terjadi kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.
“Menjatuhkan pidana denda terhadap terdakwa Stabley MA sebesar Rp 1.000.000.000 subsider 6 bulan kurungan,” tutur Jaksa.
Uang pengganti Rp 806 miliar
Selain menuntut terdakwa divonis 10 tahun penjara, Jaksa juga meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman tambahan.
Baca juga: Kasus Minyak Goreng, Eks Dirjen Perdagangan Luar Negeri Dituntut 7 Tahun Penjara
Jaksa meminta hakim menghukum Stanley membayar uang pengganti sebesar Rp 869.720.484.367,26 atau Rp 869,7 miliar.
Uang tersebut harus dibayarkan dalam waktu maksimal 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Jika Stanley tidak bisa membayar uang itu, sebagaimana ditentukan Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harta bendanya maupun korporasi akan disita oleh Jaksa.
“Dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut,” ujar Jaksa.
Adapun sejumlah korporasi itu adalah PT Permata Hijau Palm Oleo senilai Rp 302.872.524.727,52 dan PT Permata Hijau Sawit senilai Rp 8.582.484.264,39.
Kemudian, PT Pelita Agung Agrindustri senilai Rp 191.535.167.200,59, PT Nagamas Palmoil Lestari senilai Rp 351.963.069.104,5, dan PT Nubika Jaya senilai Rp 13.767.239.070,26.
Baca juga: Jejak Kasus Korupsi Minyak Goreng sampai Menjelang Sidang
Jika Stanley tidak memiliki harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti itu, ia akan dipidana 5 tahun penjara.
Jaksa menyebutkan bahwa tindakan Stanley dilakukan bersama mantan Dirjen Daglu, Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana dan tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Kemudian, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor dan General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang.
Dalam kasus ini, eks Dirjen Daglu Kemendag itu dinilai telah melakukan dugaan perbuatan melawan hukum dalam menerbitkan izin ekspor CPO atau minyak sawit mentah.
Tindakan Wisnu memberikan persetujuan ekspor (PE) diduga telah memperkaya orang lain maupun korporasi.
Menurut Jaksa, perbuatan itu dilakukan secara bersama-sama dengan empat terdakwa lainnya. Akibatnya, timbul kerugian sekitar Rp 18,3 triliun.
Kerugian tersebut merupakan jumlah total dari kerugian negara sebesar Rp 6.047.645.700.000 dan kerugian ekonomi sebesar Rp 12.312053.298.925.
“Merugikan keuangan negara sejumlah Rp 6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 12.312.053.298.925,” kata Jaksa
Lebih lanjut, Jaksa menyebut, dari perhitungan kerugian negara sebesar Rp 6 triliun, negara menanggung beban kerugian Rp 2.952.526.912.294,45 atau Rp 2,9 triliun.
Menurut Jaksa, kerugian keuangan negara itu merupakan dampak langsung dari penyalahgunaan fasilitas persetujuan ekspor (PE) produk CPO dan turunannya atas perusahaan yang berada di bawah naungan Grup Wilmar, Grup Permata Hijau, dan Grup Musim Mas.
Wisnu dan empat tersangka lain didakwa memanipulasi pemenuhan persyaratan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
Adapun DMO merupakan batas wajib pasok yang mengharuskan produsen minyak sawit memenuhi stok dalam negeri. Sementara itu, DPO merupakan harga penjualan minyak sawit dalam negeri.
Baca juga: Kejagung Segera Selesaikan Berkas Perkara Kasus Korupsi Minyak Goreng
Akibat DMO tidak disalurkan, negara akhirnya mesti mengeluarkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu beban masyarakat.
“Kerugian keuangan negara tersebut mencakup beban yang terpaksa ditanggung pemerintah dalam penyaluran BLT tambahan khusus minyak goreng untuk meminimalisasi beban 20,5 juta rumah tangga tidak mampu akibat kelangkaan,” tutur Jaksa.
Adapun sejumlah korporasi yang menerima kekayaan dalam akibat persetujuan ekspor CPO itu adalah Grup Wilmar sebanyak Rp 1.693.219.882.064, Grup Musim Mas Rp 626.630.516.604, dan Grup Permata Hijau Rp 124.418.318.216.
Jaksa menyebut, Lin Che Wei, Stanley, Pierre, dan Master melanggar pasal yang sama. Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.