JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai vonis bebas terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai Mayor Inf (Purn) Isak Sattu sebagai bentuk peradilan fiktif.
Dia juga menyebut, sejak awal persidangan terlihat terdakwa bisa saja dibebaskan dari hukuman.
"Jadi sejak awal saya sudah menduga bahwa putusan akan bebas, ini peradilan fiktif," kata Julius kepada Kompas.com melalui pesan singkat, Jumat (9/12/2022).
Baca juga: Komnas HAM Desak Kejagung Kasasi dan Cari Aktor Tragedi Paniai yang Sesungguhnya
Peradilan fiktif tersebut, menurut Julius, sudah terlihat selama proses pemeriksaan materi di persidangan.
Vonis ini, imbuh dia, juga seakan menutup penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Paniai. Dalam hal ini, upaya untuk menyeret pihak lain yang diduga terlibat dan bertanggungjawab atas peristiwa itu, tertutup.
"Maka dapat diproyeksikan bahwa memang sengaja diarahkan untuk diputus bebas. Terlebih lagi, materi pemeriksaan tidak menggambarkan syarat-syarat pelanggaran HAM berat sebagaimana UU 26/2000, lebih seperti pidana umum pembunuhan biasa," ujar Julius.
Baca juga: Terdakwa HAM Berat Paniai Divonis Bebas, Kejagung Akan Ajukan Kasasi
Untuk diketahui, dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar siang tadi, majelis hakim menyatakan Isak terbebas dari segala tuntutan jaksa.
"Mengadili menyatakan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana didakwakan pertama dan kedua," kata ketua majelis hakim HAM, Sutisna, dalam amar putusannya.
"Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan dan kedudukan harkat serta martabatnya. Membebankan biaya perkara kepada negara," imbuh Sutisna.
Baca juga: Pertanyakan Keseriusan Pemerintah, Komnas HAM: Hakim Adhoc Tragedi Paniai Belum Digaji
Dalam putusannya, peristiwa pembunuhan dan unsur-unsur pelanggaran HAM berat dari Tragedi Paniai dinyatakan terbukti.
Akan tetapi, mayoritas hakim menyatakan Isak tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat ini.
Dua orang hakim, yakni satu hakim karier dan satu hakim ad hoc, menyatakan sebaliknya (dissenting opinion).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.