Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

Politisi Mengontrol Palu Hakim Konstitusi

Kompas.com - 26/11/2022, 06:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mengontrol Mahkamah

Setelah menendang Aswanto, kini tersebar kabar bahwa Presiden dan DPR akan melakukan amandemen ke empat UU Mahkamah Konstitusi. Beberapa pasal dalam draf RUU perubahan itu telah dibuat.

Sekarang beredar kabar, bahwa DPR sedang mempersiapkan perubahan ketiga UU MK. Dalam draft RUU perubahan itu mengatur tentang evaluasi bagi hakim konstitusi tiap lima tahun, atau apabila ada laporan masyarakat mengenai kinerja hakim konstitusi, lembaga pengusul dapat mengevaluasi hakim konstitusi kapanpun.

Dalam rencana perubahan itu, terdapat pasal baru yang akan disisipkan. Dalam bahasa yang kritis, pasal yang diselundupkan.

Yaitu pasal 27C yang memberikan kewenangan kepada lembaga, yakni DPR, Presiden dan Mahkamah Agung sebagai pengusul untuk melakukan evaluasi terhadap Hakim MK.

Mekanisme evaluasi seperti ini tidak dikenal dalam mekanisme chek and balances antar tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif).

Setiap cabang kekuasaan memiliki tugas, kewenangan fungsi dan kedudukan masing-masing. Sebagai negara uang menganut sistem distribution of power, pengisian jabatan dari masing-masing lembaga dilakukan dengan mekanisme politik.

Meskipun hakim MK tidak dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana Presiden dan DPR, tetapi seleksi hakim dilakukan secara independen dengan tetap memperhatikan masukan masyarakat.

Dalam konteks pengusulan itu, lembaga pengusul cukup mengusulkan, menyeleksi, dan menyetujui.

Sementara Presiden berwenang mengeluarkan keputusan pengangkatan hakim yang telah di seleksi dan diuji kelayakannya oleh DPR.

Selesai itu, baik DPR, MA, dan Presiden tidak bisa lagi mengurus urusan internal MK. Karena mekanisme kontrol bagi Hakim di MK sudah diatur secara internal melalui majelis kehormatan.

Kalau pasal 27C ini berlaku nantinya, maka independensi hakim cukup dikhawatirkan.

Bayangkan saja, setiap keputusan hakim, misalnya, dalam perkara pengujian UU atau dalam perkara Sengketa Pemilu atau Pemilukada, ada keputusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, hakim MK dilaporkan, maka setiap saat hakim MK akan dievaluasi oleh lembaga pengusulnya.

Dampaknya hakim MK akan menjadi bulan-bulanan dievaluasi. Bahkan akan ada ketakutan untuk memutuskan perkara yang ditanganinya atas dasar kemandirian dan kemerdekaan hakim.

Apalagi perkara yang ditangani menyangkut kepentingan politik, seperti Pilkada, Pileg dan pilpres. Tentu Hakim MK akan sangat menggantungkan putusannya pada keberpihakan kekuasaan.

Bagi saya, intervensi terhadap pengadilan sudah mulai berjalan secara terstruktur, melemahkan institusi-institusi inti negara (main state organ) untuk kepentingan politik para politisi dan penguasa. Siapapun yang berkuasa itu.

Bagi saya ini bukan lagi intervensi biasa, inilah cara mengontrol hakim. Kalau hakim sudah dikontrol, artinya hakim sedang dikendalikan.

Apabila hakim sudah dikendalikan, maka jangan harap keadilan akan ditegakkan. Maka memutuskan "Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", hanya menjadi pajangan saja di berkas keputusan.

Hilangnya independensi dan kemerdekaan hakim bukan hal yang sepele, karena pada hakim pencari keadilan mengadu.

Kalau hakim konstitusi sudah dikendalikan dan dikontrol oleh kepentingan politik, maka konstitusi hanya milik penguasa. Semoga itu tidak terjadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Nasional
Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Nasional
KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Nasional
195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

195.917 Visa Jemaah Haji Indonesia Sudah Terbit

Nasional
Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Sukseskan Perhelatan 10th World Water Forum, BNPT Adakan Asesmen dan Sosialisasi Perlindungan Objek Vital di Bali

Nasional
Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Semua Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com