Lex Certa berarti bahwa rumusan norma pidana harus jelas, dan tidak bersifat kabur.
Sedangkan Lex Stricta berarti bahwa rumusan norma atau ketentuan pidana harus dimaknai secara ketat dan tegas, yang artinya dalam membaca rumusan norma tidak terdapat perbedaan tafsir atau pemahaman.
Dalam ranah praktis legislasi, maka perumusan suatu norma hukum pidana dengan mengandaikan elemen Lex Certa maupun Lex Stricta selain mengandaikan kemampuan logika dan penalaran hukum yang memadai, juga mengandaikan kemampuan penguasaan dan penggunaan bahasa hukum yang ketat.
Bila menilik pada rumusan pasal karet dalam ketentuan pidana penodaan agama, maka sebenarnya dapat dimaknai jika ketentuan tersebut tidak memenuhi kriteria Asas Legalitas Hukum Pidana Modern, yang artinya secara substansial tidak dapat diterapkan mengingat sistem hukum pidana Indonesia sendiri menganut paham Legisme-Positivisme dan Asas Legalitas yang eksplisit sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Terkait permasalahan multitafsir-nya pasal pidana penodaan agama, LBH Jakarta bersama sejumlah aliansi masyarakat sipil dan tokoh masyarakat tahun 2009 pernah mengajukan Judicial Review pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi RI.
Namun sayangnya, langkah ini justru menemui kebuntuan karena Hakim Mahkamah Konstitusi RI memutus untuk tidak membatalkan keberadaan pasal tersebut.
Tidak hanya itu, LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan) dalam buku penelitiannya yang bertajuk “Penafsiran terhadap Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penodaan Agama (Analisis Hukum dan Hak Asasi Manusia)” juga telah menunjukkan akan adanya perbedaan tafsir yang terlampau jauh dan beragam di kalangan hakim dan pengadilan atas pasal pidana penodaan agama.
Artinya, di kalangan aparat penegak hukum sendiri tidak ada kesepemahaman yang seragam terhadap substansi pasal pidana penodaan agama.
Dalam konteks kasus yang dialami oleh Sule, Budi Dalton, dan Mang Saswi, tidak dapat dikatakan bahwa lelucon Miras tersebut menodai agama, mengingat ucapan tersebut hanyalah lelucon sesaat semata, dan tidak ada maksud sama sekali untuk membenci ataupun agama tertentu.
Hal ini telah disampaikan juga oleh ketiganya dalam video klarifikasinya masing-masing yang beredar di internet.
Selain problematis dari segi hukum, keberadaan pasal pidana penodaan agama juga telah menjadi sasaran kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil, baik itu akademisi, aktivis, maupun pemuka agama.
Selain berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan berhukum, penerapan pasal pidana penodaan beragama justru melanggengkan tafsir tunggal atas ajaran agama, intoleransi, dan meningkatkan ekstremisme beragama.
Dalam sejumlah kasus-kasus kriminalisasi terhadap kelompok keagamaan tertentu dengan menggunakan delik pidana penodaan agama, seperti Kasus Ahmadiyah di Cikeusik (2011), Kasus Syiah Sampang (2011), Kasus Ahmadiyah Lombok Timur (2018), dan Kasus Gafatar (2015-2016), menunjukkan bahwa kriminalisasi tersebut terjadi seiring dengan praktik intoleransi, diskriminasi, dan persekusi.
Efeknya masih terasa hingga kini, di mana kelompok-kelompok keagamaan tersebut tetap menjadi sasaran kecurigaan publik karena menyandang stigma “sesat” dan dianggap “menodai agama”.
Di sisi lain, klaim Pemerintah Indonesia yang ingin terus mempertahankan delik pidana penodaan agama adalah untuk mewujudkan kerukunan beragama dan mencegah konflik keagamaan.