Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Rasyid Ridha
Pengacara

Advokat/pengacara publik YLBHI-LBH Jakarta; mahasiswa Magister Ilmu Hukum konsentrasi Socio-Legal Studies Universitas Indonesia

Eksistensi Pasal Penodaan Agama dan Problematikanya

Kompas.com - 25/11/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MASIH eksisnya pasal penodaan agama telah menimbulkan problem hukum dan sosiologis di masyarakat Indonesia hingga saat ini.

Selain pasal tersebut kerap digunakan untuk mengkriminalisasi orang atau kelompok yang memiliki pandangan keyakinan dan religi berbeda, keberadaan pasal tersebut justru semakin menutup kondisi kebebasan ruang dialog antarkeyakinan (interfaith dialogue) antarkomunitas keagamaan dan budaya di masyarakat.

Sebagai contoh, baru-baru ini Sule, Mang Saswi (keduanya Komedian) dan Budi Dalton (Budayawan) telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pidana penodaan agama.

Adapun materi yang dilaporkan adalah ucapan Budi Dalton yang dipotong dalam suatu video yang sudah diunggah lama berbulan-bulan lalu, di mana ia menyebutkan lelucon mengenai akronim Miras.

Sedangkan Sule dan Mang Saswi pada saat itu posisinya sebagai tamu yang kemudian merespons ujaran Budi Dalton dengan tertawa kecil.

Atas hal tersebut, ketiganya telah meminta maaf dan klarifikasi kepada publik atas kesalahpahaman yang terjadi akibat lelucon tersebut.

Namun sayangnya, sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Pecinta Rasulullah tidak merespons permintaan maaf tersebut dan memilih untuk meneruskan proses laporan polisi terkait dugaan tindak pidana penodaan agama di Kepolisian.

Bertentangan dengan Asas Legalitas

Pasal penodaan agama diatur dalam ketentuan Pasal 156a KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Dalam kasus yang barang buktinya adalah medium digital, aparat penegak hukum kerap menggunakan juga ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait delik pidana ujaran kebencian berbasis SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antar Golongan) di internet.

Meski begitu, pasal penodaan agama tersebut tidak kompatibel atau tidak memenuhi kriteria Asas Legalitas sebagai fundamen dalam sistem hukum pidana. Ini dapat dilihat dari konstruksi norma pasalnya yang bersifat karet, multitafsir, dan tidak pasti secara bahasa hukum.

Misalnya istilah “penodaan terhadap suatu agama”, tidak ada indikator atau tolak ukur yang jelas dengan apa yang dimaksud sebagai “penodaan” itu sendiri.

Apa ukurannya suatu agama dianggap ternodai? Apakah penodaannya sama seperti air sungai yang terkontaminasi limbah pabrik yang dapat diukur oleh alat teknologi tertentu?

Nyatanya, tidak ada indikator pasti yang dapat mengukur apakah suatu agama ternodai atau tidak.

Artinya, istilah “penodaan” ini bersifat tidak pasti, karet, dan multitafsir, yang dalam konteks penegakan hukum pidana berpotensi diterapkan secara sewenang-wenang.

Rumusan norma hukum pidana yang sifatnya tidak pasti dalam hukum pidana modern sebenarnya tereliminasi dengan sendirinya dari kriteria Asas Legalitas, di mana dalam Asas Legalitas terdapat elemen asas penunjang, khususnya Lex Certa dan Lex Stricta.

Lex Certa berarti bahwa rumusan norma pidana harus jelas, dan tidak bersifat kabur.

Sedangkan Lex Stricta berarti bahwa rumusan norma atau ketentuan pidana harus dimaknai secara ketat dan tegas, yang artinya dalam membaca rumusan norma tidak terdapat perbedaan tafsir atau pemahaman.

Dalam ranah praktis legislasi, maka perumusan suatu norma hukum pidana dengan mengandaikan elemen Lex Certa maupun Lex Stricta selain mengandaikan kemampuan logika dan penalaran hukum yang memadai, juga mengandaikan kemampuan penguasaan dan penggunaan bahasa hukum yang ketat.

Bila menilik pada rumusan pasal karet dalam ketentuan pidana penodaan agama, maka sebenarnya dapat dimaknai jika ketentuan tersebut tidak memenuhi kriteria Asas Legalitas Hukum Pidana Modern, yang artinya secara substansial tidak dapat diterapkan mengingat sistem hukum pidana Indonesia sendiri menganut paham Legisme-Positivisme dan Asas Legalitas yang eksplisit sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Terkait permasalahan multitafsir-nya pasal pidana penodaan agama, LBH Jakarta bersama sejumlah aliansi masyarakat sipil dan tokoh masyarakat tahun 2009 pernah mengajukan Judicial Review pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi RI.

Namun sayangnya, langkah ini justru menemui kebuntuan karena Hakim Mahkamah Konstitusi RI memutus untuk tidak membatalkan keberadaan pasal tersebut.

Tidak hanya itu, LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan) dalam buku penelitiannya yang bertajuk “Penafsiran terhadap Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penodaan Agama (Analisis Hukum dan Hak Asasi Manusia)” juga telah menunjukkan akan adanya perbedaan tafsir yang terlampau jauh dan beragam di kalangan hakim dan pengadilan atas pasal pidana penodaan agama.

Artinya, di kalangan aparat penegak hukum sendiri tidak ada kesepemahaman yang seragam terhadap substansi pasal pidana penodaan agama.

Dalam konteks kasus yang dialami oleh Sule, Budi Dalton, dan Mang Saswi, tidak dapat dikatakan bahwa lelucon Miras tersebut menodai agama, mengingat ucapan tersebut hanyalah lelucon sesaat semata, dan tidak ada maksud sama sekali untuk membenci ataupun agama tertentu.

Hal ini telah disampaikan juga oleh ketiganya dalam video klarifikasinya masing-masing yang beredar di internet.

Biang intoleransi

Selain problematis dari segi hukum, keberadaan pasal pidana penodaan agama juga telah menjadi sasaran kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil, baik itu akademisi, aktivis, maupun pemuka agama.

Selain berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan berhukum, penerapan pasal pidana penodaan beragama justru melanggengkan tafsir tunggal atas ajaran agama, intoleransi, dan meningkatkan ekstremisme beragama.

Dalam sejumlah kasus-kasus kriminalisasi terhadap kelompok keagamaan tertentu dengan menggunakan delik pidana penodaan agama, seperti Kasus Ahmadiyah di Cikeusik (2011), Kasus Syiah Sampang (2011), Kasus Ahmadiyah Lombok Timur (2018), dan Kasus Gafatar (2015-2016), menunjukkan bahwa kriminalisasi tersebut terjadi seiring dengan praktik intoleransi, diskriminasi, dan persekusi.

Efeknya masih terasa hingga kini, di mana kelompok-kelompok keagamaan tersebut tetap menjadi sasaran kecurigaan publik karena menyandang stigma “sesat” dan dianggap “menodai agama”.

Di sisi lain, klaim Pemerintah Indonesia yang ingin terus mempertahankan delik pidana penodaan agama adalah untuk mewujudkan kerukunan beragama dan mencegah konflik keagamaan.

Klaim ini mengada-ngada, karena selain antara proposisi eksistensi delik dengan proposisi angan-angan mewujudkan kerukunan beragama tidak memiliki kesinambungan logis yang kausalitas.

Fakta menunjukkan bahwa keberadaan delik tersebut justru semakin menumbuhkembangkan watak intoleransi umat beragama di masyarakat.

Alih-alih menciptakan suasana harmoni dan rukun, keberadaan delik pidana penodaan agama justru mengopresi kebebasan beragama dan berkeyakinan warga.

Walhasil pikiran, tindakan, dan ujaran warga dikontrol dengan sedemikian rupa oleh rezim pengetahuan keagamaan tertentu yang dominan, yang kapan saja siap meneguhkan dominasi kuasanya dengan membajak instrumen hukum.

Maka pada titik ini, Pancasila dan Demokrasi Indonesia sedang menggali lubang kuburnya sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dengan Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dengan Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Nasional
'Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?'

"Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?"

Nasional
Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Nasional
Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Nasional
Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Nasional
Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Nasional
Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: 'Skincare' Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: "Skincare" Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Nasional
Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Nasional
'Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo'

"Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo"

Nasional
Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Nasional
Kaum Intelektual Dinilai Tak Punya Keberanian, Justru Jadi Penyokong Kekuasaan Tirani

Kaum Intelektual Dinilai Tak Punya Keberanian, Justru Jadi Penyokong Kekuasaan Tirani

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com