JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH kantor di seluruh Indonesia menilai bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan masih disusun berdasarkan paradigma hukum yang menindas serta diskriminatif.
"YLBHI dan 18 LBH kantor mendesak kepada presiden dan DPR RI untuk menunda pengesahan RKUHP hingga tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang diakomodir di dalamnya, dan menghapus pasal-pasal antidemokrasi dalam RKUHP," kata Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, dalam keterangan tertulis, Kamis (24/11/2022).
"Serta, memastikan proses pembahasan yang transparan dan partisipatif dan mendengarkan serta menerima masukan, aspirasi dan kritik dari masyarakat sipil," ujarnya lagi.
Baca juga: DIM Bakal Dibahas dalam Rapat RKUHP, Anggota DPR: Mudah-mudahan Publik Teryakinkan
YLBHI menilai bahwa RKUHP yang akan disahkan, jika tidak diperbaiki, akan menimbulkan ancaman overkriminalisasi kepada rakyat akibat paradigma hukum yang dibawa.
"Simpulan tersebut tercermin dari muatan-muatan pasal antidemokrasi yang masih dipaksakan," ujar Isnur.
"Persoalan serius yang menjadi sorotan utama adalah RKUHP dapat menjadi instrumen yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil," katanya lagi.
YLBHI kemudian menyoroti beberapa pasal yang dianggap dapat menjadi celah untuk membungkam kritik, seperti ancaman pidana atas penghinaan presiden dan wakil presiden, penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Serta, pencemaran nama baik dan penyelenggaraan aksi unjuk rasa tanpa pemberitahuan.
"Bahkan, pasal-pasal tersebut berpotensi digunakan secara serampangan, mengingat rendahnya etika pejabat negara saat ini. Terutama, karena lebih sering memprioritaskan kepentingan oligarki, ketimbang kepentingan publik," kata Isnur.
Baca juga: Aktivisi Sebut Pasal Bermasalah Masih Ada di RKUHP Bisa Dipakai Bungkam Kritik
Lebih lanjut, Isnur menilai adanya pasal-pasal antidemokrasi membuktikan bahwa pemerintah masih mewariskan aturan kolonial.
"Pemerintah dan DPR beragumentasi bahwa RKUHP hadir untuk mendekolonialisasi KUHP yang merupakan warisan kolonial. Namun, hal demikian terbantahkan dengan sendirinya karena sifat kolonial justru berasal dari pasal-pasal yang anti demokrasi dan masih diakomodir oleh penguasa," tuturnya.
Sementara itu, rapat kerja Komisi III DPR RI dengan dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang sedianya digelar Kamis ini, akhirnya dibatalkan.
Komisi III disebut ingin menggelar raker dengan Kemenkumham untuk membahas penyempurnaan RKUHP.
Anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan, mayoritas fraksi akan mengusulkan agar Pasal 347 dan Pasal 348 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan kepada kekuasaan umum atau lembaga negara dihapus.
Baca juga: Bahas RKUHP dengan Kemenkumham, Komisi III Batal Rapat dengan Kapolri
Habiburokhman mengklaim akan ada perubahan signifikan dalam RKUHP.
"Setelah pihak pemerintah melakukan banyak perbaikan yang merupakan hasil penyerapan aspirasi masyarakat di antaranya Dewan Pers, hari ini kemungkinan besar akan ada lagi perbaikan signifikan," kata Habiburokhman.