JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan bertanya kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin terkait penerapan restorative justice pada tindak pidana narkotika.
Menurut dia, keadilan restoratif itu tepat diterapkan untuk kasus narkotika mengingat banyaknya pengguna narkoba yang harus mendekam di penjara.
“Ini menarik karena gagasan ke belakang adalah bagaimana sumber daya kejaksaan masuk ke pemahaman narkotika," kata Hinca dalam rapat kerja Komisi III dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (23/11/2022).
“Karena angka (anggaran) luar biasa besarnya untuk menangani kasus ini. Sampai akhirnya di lapas over crowded, itu menghabiskan anggaran negara sekitar Rp 1 triliun,” ujar dia.
Baca juga: Polda dan Polres Diminta Perketat Pengamanan Gudang Penyimpanan Barang Bukti Narkoba
Ia berpendapat, restorative justice mesti dioptimalkan pada kasus narkoba, khususnya pada tersangka yang hanya menjadi pengguna.
Hinca menilai, pengiritan anggaran negara bisa dilakukan jika keadilan restoratif diterapkan pada pengguna narkoba.
“Khusus narkotika anggaran kita kalau per anggaran Rp 10 juta untuk satu kasus. Tapi kemudian menghasilkan jumlah orang di penjara karena pengguna narkoba itu sampai puluhan ribu, yang menghabiskan anggaran besar sekali,” ujar dia.
Ia kemudian meminta Burhanuddin memberikan perhatian lebih pada kasus tersebut.
Sebab, menurut dia, pengguna narkoba merupakan korban yang mestinya disembuhkan, bukan dikurung dalam penjara.
“Karena pengguna adalah korban, korban adalah orang sakit, orang sakit diobati, bukan dipenjara,” ujar Hinca.
Baca juga: Jaksa Agung Sebut Ada 2.000 Kasus Diselesaikan dengan Restorative Justice
Menanggapi pertanyaan tersebut, Burhanuddin menegaskan, restorative justice untuk tindak pidana narkotika diberlakukan bagi pengguna.
Ia sepakat bahwa pengguna adalah korban dari peredaran obat terlarang itu.
“Restorative justice narkoba memang titik beratnya pada korban, saya tidak menghendaki ada korban lagi masuk lembaga pemasyarakatan,” kata dia.
“Korban tempatnya adalah tempat rehab. Maka kami sudah mendirikan 73 tempat rehab,” ujar Burhanuddin.
Baca juga: Kepala BPOM Bertemu Jaksa Agung: Bahas Kasus Gagal Ginjal hingga RUU POM
Adapun Burhanudin mengeklaim telah menyelesaikan sekitar 2.000 kasus melalui restorative justice sejak tahun 2020.
Ia ingin menunjukan bahwa hukum tidak tumpul ke atas dan tajam ke atas.
“Saya melihat ada ketimpangan khusus untuk orang-orang yang harusnya tidak masuk penjara, ini masuk penjara,” ucap dia, ditemui di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu (19/11/2022).
Adapun restorative justice di lingkungan Kejagung mulai diterapkan setelah diterbitkannya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan.
Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Fadil Zumhana mengungkapkan, restorative justice juga diterapkan pada tindak pidana narkotika.
Pedomannya diatur melalui Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021, turunan dari Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.