LESTI Kejora akhirnya mencabut laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilaporkannya terhadap suami, yaitu Rizky Billar.
Cukup dramatis ketika sebelumnya LestI sempat mempertontonkan berada di rumah sakit menggunakan bantalan leher.
Dalam laporannya, Lesti mengaku mengalami kekerasan fisik. Rizky mendorong dan membanting korban ke kasur dan mencekik leher korban sehingga jatuh ke lantai.
Kekerasan fisik yang dialami Lesti merupakan kejahatan sesuai isi Pasal 44 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT: ”Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)."
Polisi kemudian menghentikan proses hukum dengan dalih menggunakan Restorative Justice. Padahal kasus ini sudah berada pada tahap penyidikan yang disertai upaya paksa penahanan terhadap Rizky Billar.
Tentu ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka polisi/penyidik telah memiliki dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Ada lima jenis alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat/dokumen, petunjuk, keterangan terdakwa.
Konsep Restorative Justice muncul sebagai perkembangan dari positivisme ke progresif. Dalam Keadilan Restorasi ini, semua pihak yang terlibat dalam pelanggaran hukum memilih menyelesaikan secara bersama-sama tanpa proses pengadilan.
Artinya kedua belah pihak memiliki pandangan yang sama untuk menyelesaikan masalah hukum secara musyawarah.
Sebenarnya Restorative Justice adalah metode, bukan bentuk putusan terhadap kejahatan sebagai resolusi penyelesaian masalah dengan memperbaiki keadaan atau kerugian bagi korban.
Prinsip Keadilan Restorasi adalah memulihkan hubungan baik antara pelaku dengan korban, dengan memperhatikan penderitaan korban.
Di dalam KUHAP, belum ada rumusan pasal/ayat tentang Keadilan Restorasi yang memberikan peluang bagi penyidik untuk menghentikan penyidikan kecuali dengan alasan yang secara limitatif sudah ditentukan pada Pasal 109 ayat (2).
Pasal tersebut berisi: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan lain yang dapat digunakan untuk menghentikan penyidikan. KUHAP secara limitatif sudah menetapkan alasan secara hukum untuk menetapkan penghentian penyidikan, yakni tidak cukup bukti; peristiwa tersebut bukan tindak pidana, dan demi hukum.
Tentang alasan tidak cukup bukti, artinya penyidik tidak memiliki dua alat bukti yang sah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.