Penggunaan kata makian di dalam setiap bahasa termasuk bahasa daerah sebenarnya bukan hal yang sepenuhnya salah.
Bagi sebagian kalangan atau komunitas, kata makian bahkan dapat dianggap sebagai penanda keakraban dan solidaritas (Goddard, 2015).
Kata makian baru akan menimbulkan masalah jika diucapkan pada “ruang” dan waktu yang keliru.
Meskipun kasus ujaran kebencian di media sosial juga erat kaitannya dengan tingkat literasi digital dan literasi hukum pelakunya, setidaknya ada dua hal yang dapat diupayakan oleh pengajar, pegiat, atau peneliti bahasa daerah terkait upaya pencegahan dini.
Pertama, menanamkan pemahaman konteks pada pemelajar atau penutur muda di dalam pengajaran bahasa daerah.
Kecerdasan pragmatik atau kompetensi penggunaan bahasa sesuai konteks akan membantu pemelajar memahami seluk beluk latar penggunaan bahasa: apa yang dibicarakan; dengan siapa, kapan dan di mana berbicara.
Kompetensi ini penting dimiliki setiap pemelajar khususnya kalangan muda agar mereka mengerti bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang lahir dalam ruang hampa dan selalu bermakna tunggal.
Sebuah kata dapat bermakna lain jika diucapkan pada waktu dan tempat yang berbeda.
Meskipun kompetensi pragmatik juga dapat dipelajari dalam pembelajaran bahasa kedua, seperti bahasa Indonesia atau bahasa asing, pengajaran pragmatik dalam bahasa daerah memiliki kekhasan tersendiri karena bahasa sebagai produk budaya tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi, tetapi juga menyimpan nilai-nilai kearifan dan cara pandang pemilik bahasa tersebut terhadap dunia.
Contohnya, budaya unggah-ungguh di dalam masyarakat Jawa tergambar dari berbagai tingkatan penggunaan bahasanya.
Dengan demikian, pengajaran pragmatik berbasis bahasa daerah tentu memiliki perbedaan dengan pengajaran pragmatik dalam bahasa lain.
Dengan pemahaman atau kesadaran pragmatik berbasis bahasa daerah, penutur muda tidak hanya diharapkan mampu berbahasa daerah dengan baik dan benar, tetapi juga dapat menggunakannya sesuai konteks.
Kedua, menyusun kamus istilah tabu atau kata makian dalam bahasa daerah beserta konteks penggunaannya.
Tujuannya tentu bukan untuk mengajarkan pemelajar berkata-kata kasar atau menggunakan istilah tabu secara serampangan.
Sebaliknya, penyusunan kamus tersebut bertujuan memberikan pemahaman kepada para pemelajar bahwa ada kata-kata yang tidak boleh diucapkan pada situasi dan kondisi tertentu.