JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak berharap segera dilakukan perkara atau ekspose untuk memutuskan status kasus dugaan skandal ‘kardus durian’ bisa naik ke tahap penyidikan atau tidak.
Sebagaimana diketahui, 'kardus durian' adalah kasus dugaan suap kepada Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Saat itu, ia menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Menurut Johanis Tanak, gelar perkara perlu dilakukan agar kasus yang menyeret nama Cak Imin itu bisa menjadi jelas.
“Saya berharap ada dulu ekspose biar kita lihat, apakah nanti ada bukti yang cukup untuk ditingkatkan atau tidak, ini kan perlu satu kepastian hukum juga,” kata Johanis saat ditemui awak media di Gedung Juang KPK, Senin (21/11/2022).
Baca juga: KPK Akan Lihat Putusan Jamaluddin Malik untuk Bongkar Kasus Kardus Durian
Menurut Johanis, kepastian hukum itu penting. Sebab, hal itu menyangkut nasib orang yang dilaporkan.
Selain itu, ketidakpastian hukum juga bisa berdampak pada hak perdata seseorang.
Johanis Tanak memberikan contoh dirinya dilaporkan ke KPK. Tetapi, kasus berlarut-larut dan tidak kunjung jelas.
Suatu ketika, ia hendak membuka usaha dan perlu modal. Ia kemudian memutuskan untuk meminjam uang ke bank. Semua persyaratan seperti sertifikat yang dijaminkan sudah lengkap.
“Tapi ketika dia lihat wah anda ini status di KPK tidak jelas, akhirnya kan tidak dikasih karena status saya tidak jelas begini kan,” kata Johanis.
“Nah ini berarti merugikan hak keperdataan saya,” ujarnya lagi.
Baca juga: Kilas Balik Skandal Kardus Durian yang Kembali Diungkit Firli
Menurut Johanis, contoh tersebut tidak sesuai dengan tujuan hukum, yakni adanya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Ketika tidak ada kepastian hukum, kata mantan Jaksa tersebut, maka tidak ada keadilan.
Oleh karena itu, ia berharap dalam waktu kedepan dugaan skandal korupsi ‘kardus durian’ bisa diekspose. Dengan demikian, KPK akan melihat apakah dalam kasus tersebut ditemukan indikasi korupsi atau tidak.
“Kalau tidak ya kita katakan tidak, kalau iya kita tingkatkan. Sehingga ada kepastian hukum dan ada keadilan, sebagaimana tujuan hukumnya,” ujar Johanis.
Baca juga: Pernyataan Firli soal Kardus Durian Dinilai Politis jika Tak Ada Proses Hukum di KPK
Kasus ‘kardus ‘durian’ pertama kali muncul dalam persidangan kasus korupsi Kepala Bagian Program, Evaluasi, dan Pelaporan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (P2KT) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Dadong Irbarelawan.
Dadong ditangkap KPK pada 25 Agustus 2011 bersama atasannya, I Nyoman Suisnaya dan pengusaha bernama Dharnawati.
Dalam penangkapan itu, KPK menyita uang Rp 1,5 miliar dalam kardus durian dari Dharnawati.
Jaksa menyebut uang itu merupakan bagian dari commitment fee yang akan diberikan Dharnawati agar empat kabupaten di Papua mendapatkan alokasi PPID dari Kemenakertrans.
Baca juga: Soal Kasus Kardus Durian, Firli Bahuri Ingatkan KPK Tak Sulit Temukan Perbuatan Korupsi
Menurut Jaksa, setelah disetujui dana untuk empat kabupaten tersebut Rp 73 miliar, Nyoman meminta Dharnawati memberikan commitment fee 10 persen dari nilai proyek atau Rp 7,3 miliar.
Uang itu disebut akan diserahkan kepada orang dekat Muhaimin Iskandar yang bernama Fauzi.
Dharnawati kemudian menemui Dadong untuk memindahbukukan rekening. Setelah uang Rp 1,5 miliar ditransfer, Dharnawati menyerahkan buku tabungan dan ATM ke Dadong.
“Dengan posisi saldo Rp 2 miliar yang merupakan commitment fee yang mana uang itu untuk diberikan kepada Muhaimin," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (12/3/2012).
Namun, Muhaimin Iskandar tidak pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.