Komisi Yudisial bertugas melakukan pengawasan eksternal terhadap perilaku hakim berdasarkan pedoman perilaku hakim.
Namun semenjak dibentuknya KY berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen, hakim konstitusi maupun hakim agung selalu berupaya untuk melucuti kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakim.
Karena itu, efektivitas keberadaan KY sebagai pengawas memang tidak mendapatkan posisi yang strategis, bahkan tidak memiliki “power” dihadapan hakim agung, karena itu pengawasan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Selain lemahnya pengawasan, MA selalu menutup diri dalam hal perkara dan penanganan perkara yang mereka sidangkan. Hal inilah yang membuka peluang terjadinya jual beli putusan dalam setiap perkara yang masuk di MA.
Dalam proses rekrutmen hakim dilingkup MA, cukup memberikan kesan bahwa unsur politik lebih kental daripada mencari orang-orang yang benar-benar profesional untuk diangkat menjadi hakim. Hal ini tidak terlepas dari proses seleksi hakim yang jauh dari penilaian publik.
Para pembaca dan orang yang belajar hukum tahu, bahwa dalam penanganan perkara yang masuk di meja hakim agung pasti akan ditangani minimal tiga orang hakim.
Setiap kamar hukum di MA memiliki hakim yang telah ditetapkan, jumlahnya bervariasi dalam tiap-tiap kamar itu.
Berdasarkan komposisi kamar perkara di MA pimpinan 3 orang, kamar pidana 15 orang, kamar perdata 16 orang, kamar agama 7 orang, kamar militer 4 orang, dan kamar TUN 6 orang.
Dalam penanganan perkara kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK), panel hakimnya tiga orang dengan dibantu seorang panitera. Artinya dalam satu perkara ada empat orang yang menangani.
Untuk dapat menang perkara, minimal dua orang hakim harus memiliki keyakinan yang sama agar dapat memutuskan perkara.
Karena itu, apabila ada perkara yang dimenangkan dengan suap, maka paling tidak dua hakim ikut menyetujui.
Bayangkan, dalam perkara perdata korupsi hakim Dimyati menyeret beberapa pegawai MA. Dalam Kamar Pidana ada hakim Gazalba yang melakukan hal serupa.
Kalau dua kamar ini terjangkit korupsi, apakah kita masih mengatakan bahwa ini oknum? Kalau jawabannya iya, maka paling tidak dari dua kasus, ada empat orang hakim yang patut diduga bermain-main dengan perkara.
Coba bayangkan kalau seandainya setiap hari para hakim ini menangani perkara pidana dan perdata (khusus Dimyati dan Gazalba), maka sudah berapa orang yang memenangkan perkara semenjak mereka menjadi hakim. Sudah berapa banyak jual beli perkara di MA?
Ini perlu didalami oleh KPK. Bagi saya, sangat tidak masuk akal kalau dugaan suap ini hanya menjerat dua pelaku.