JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai, pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri tentang kasus "kardus durian" politis jika tidak didasari adanya proses hukum yang sedang berjalan.
Firli sebelumnya mengatakan, kasus "kardus durian" yang terjadi pada 2011-2012 itu menjadi perhatian KPK.
Skandal korupsi itu menyeret nama Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
“Menurut saya, pernyataan ini sangat politis jika tidak didasarkan pada satu proses hukum yang sedang dijalankan di internal KPK,” kata Zaenur saat dihubungi Kompas.com, Rabu (2/11/2022).
Baca juga: Waketum PKB Enggan Komentari Pernyataan Firli Bahuri Soal Kasus “Kardus Durian”
Zaenur meminta Firli berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan di depan publik. Menurut dia, pernyataan terkait kasus kardus durian itu bisa memunculkan tafsir yang sangat beragam.
Jika KPK tidak sedang menindak kasus itu secara hukum, baik penyelidikan maupun penyidikan, kata Zaenur, perkataan Firli bisa dibaca sebagai suatu pernyataan yang tidak lepas dari kepentingan politik.
“Kepentingan politik seperti apa? Kita tidak tahu apa kepentingan politik dari seorang Firli Bahuri,” ujar Zaenur.
Ia pun mendorong KPK untuk mengusut semua kasus korupsi, termasuk yang dilakukan para politisi.
Di sisi lain, kasus kardus durian beririsan dengan perkara korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang diusut KPK pada 2011-2012 itu.
Jika memang KPK memiliki bukti terkait kasus "kardus durian", kata Zaenur, KPK bisa melanjutkan proses hukum dengan cara menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik).
“Kalau sudah ada sprindiknya kita percaya itu adalah suatu proses hukum yang sungguh sungguh di internal KPK, bukan suatu pernyataan-pernyataan yang bertendensi politik,” tutur Zaenur.
Baca juga: Soal Kasus Kardus Durian, Firli Bahuri Ingatkan KPK Tak Sulit Temukan Perbuatan Korupsi
Zaenur menilai, publik tidak ingin KPK memberikan komentar terhadap kasus yang memiliki dimensi politik.
Sementara itu, di sisi lain terdapat banyak kasus yang hingga saat ini masih mengambang.
Dua di antaranya terkait keberadaan mantan politikus PDI-P Harun Masiku dan kelanjutan kasus korupsi KTP elektronik.
Menurut dia, KPK harus bersikap jernih, netral, dan menjauhkan diri dari politik praktis dan tidak melontarkan pernyataan yang berbau politis.
“Jangan kemudian dengan KPK membuat pernyataan-pernyataan yang kita khawatirnya pernyataan ini tidak didasarkan pada proses hukum yang dilakukan KPK di internalnya,” tutur Zaenur.
Sebelumnya, Firli Bahuri menyatakan, kasus dugaan korupsi "kardus durian" menjadi perhatian KPK.
“Terkait dengan perkara lama tahun 2014 kalau tidak salah tu, yang disebut dengan ‘kardus durian’ ini juga menjadi perhatian kita bersama,” ujar Firli dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kamis (27/10/2022).
Kasus "kardus durian" pertama kali muncul dalam persidangan kasus korupsi Kepala Bagian Program, Evaluasi, dan Pelaporan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (P2KT) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Dadong Irbarelawan.
Dadong ditangkap KPK pada 25 Agustus 2011 bersama atasannya, I Nyoman Suisnaya, dan pengusaha bernama Dharnawati.
Dalam penangkapan itu, KPK menyita uang Rp 1,5 miliar dalam kardus durian dari Dharnawati.
Jaksa menyebut, uang itu merupakan bagian dari commitment fee yang akan diberikan Dharnawati agar empat kabupaten di Papua mendapatkan alokasi PPID dari Kemenakertrans.
Baca juga: Sambut Prabowo dengan Sapaan Capres, Muhaimin: Penghormatan Tertinggi untuk Tamu
Menurut Jaksa, setelah disetujui dana untuk empat kabupaten tersebut Rp 73 miliar, Nyoman meminta Dharnawati memberikan commitment fee 10 persen dari nilai proyek atau Rp 7,3 miliar.
Uang itu segalanya diserahkan kepada orang dekat Muhaimin Iskandar atau Cak Imin bernama Fauzi.
Dharnawati kemudian menemui Dadong untuk memindahbukukan rekening. Setelah uang Rp 1,5 miliar ditransfer, Dharnawati menyerahkan buku tabungan dan ATM ke Dadong.
“Dengan posisi saldo Rp 2 miliar yang merupakan commitment fee yang mana uang itu untuk diberikan kepada Muhaimin," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (12/3/2012).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.