Irfan menambahkan bahwa secara faktual, politik uang memang masih menjadi fenomena yang marak di Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyinggung soal besarnya perkara politik uang pada Pemilu 2019.
Ketika itu, terdapat 380 putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah) terkait tindak pidana pemilu. Politik uang menyumbang kasus terbanyak (69 terpidana), disusul memberikan suara lebih daru 1 kali (65 terpidana) dan penggelembungan suara (43 terpidana).
Padahal, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jelas sudah melarang politik uang lewat Pasal 523, serta mengatur sanksinya bagi pelaksana, petugas, dan peserta kampanye.
Titi juga menyitir survei Global Corruption Barometer di mana dari 7 pemilih di Asia, 1 di antaranya terpapar politik uang, dan Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam hal ini dengan 26 persen pemilihnya terpapar politik uang. Hanya Thailand dan Filipina yang lebih buruk dari Indonesia dalam hal ini.
"Ini masalah faktual. Kalau lebih banyak yang tidak menegakkan dibanding yang menegakkan, di mana pun tidak akan tegak," kata Irfan.
"Persoalan ini perlu dibicarakan bersama. Di sini kan para pemuka masyarakat. Tolong diselesaikan secara sosiologis," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.