Lalu, pada Juli 2015, Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) KSAU saat itu, Mohammad Syafei, menanyakan kesanggupan Irfan untuk menghadirkan helikopter AW-101 pada HUT TNI 9 April 2016.
Dari situ, Irfan menghubungi Head of Region Southeast Asia Leonardo Helicopter Division Agusta Westland Products, Lorenzo Pariani. Leonardo pun menyanggupi permintaan tersebut.
Irfan lalu memesanan helikopter AW-101 pada 14-15 Oktober 2015. Ia mengirim biaya pembayaran sebesar Rp 13,3 miliar atau 1 juta dollar AS.
"Padahal, saat itu belum ada pengadaan Helikopter VVIP di lingkungan TNI AU,” ujar Jaksa KPK Arief Suhermanto dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Rabu.
Jaksa juga mengungkap, helikopter tersebut sedianya merupakan pesanan militer Angkatan Udara pemerintah India.
Angkutan dengan Nomor Seri Produksi (MSN) 50248 ini rampung diproduksi pada 2012 dan teregister dengan nomor tanda pendaftaran pesawat udara (aircraft registration number) ZR343 di Inggris.
"Helikopter dengan nomor seri produksi MSN 50248 tersebut merupakan helikopter AW-101 641 dengan konfigurasi VVIP yang merupakan pesanan Angkatan Udara India,” ujar Arief.
Menurut laporan tim ahli Institut Teknologi Bandung (ITB), helikopter tersebut bukan barang baru karena telah dioperasikan sejak November 2012.
Pesawat ini memiliki waktu terbang selama 152 jam dan waktu operasi 167.4 dengan 119 pengoperasian.
“Sehingga helikopter AW-101 646 yang didatangkan dalam pengadaan helikopter angkut TNI AU Tahun 2016 tersebut bukan merupakan helikopter baru,” ujar Arief.
Baca juga: Helikopter AW-101 yang Pengadaannya Dikorupsi Ternyata Pesanan Militer India
Sementara itu, surat Komite Pemeriksa Materiel (KPM) kepada Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Nomor B/10/III/2017 tanggal 22 Maret 2017 mengungkap kejanggalan lain. Tim tersebut menemukan 12 kekurangan atau ketidaklengkapan helikopter ini.
“Ditemukan kursi sebanyak 24 kursi seharusnya 38 kursi jadi kurang 14 kursi,” kata Arief.
Kekurangan lainnya adalah riwayat jam terbang yang tidak lengkap, tidak adanya riwayat log book engine, dokumen komponen tidak memiliki usia, serta tidak ditemukan nomor seri dan nomor produksi pada pesawat.
Kemudian, tidak adanya cargo emergency on the starboard, first aid kit atau pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), stretcher atau tandu, tail rotor blade lock, jacking bolt joint, dan data swing compass.
“Digital map (peta digital) untuk Asia Tenggara (Indonesia) belum diinstal,” tutur Arief.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.