Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beda Keterangan Polri dan TGIPF soal Gas Air Mata di Kanjuruhan, Benarkah Tidak Mematikan?

Kompas.com - 11/10/2022, 09:27 WIB
Fitria Chusna Farisa

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 131 orang pada Sabtu (1/10/2022) terus menuai polemik.

Banyak pihak menduga, ratusan nyawa melayang akibat gas pengendali massa itu. Namun, pihak kepolisian berdalih.

Polisi mengakui bahwa terdapat sejumlah gas air mata kedaluwarsa yang ditembakkan pada malam tersebut. Namun, polisi menyebut, tidak semua gas air mata dalam kondisi kedaluwarsa.

“Ya ada beberapa yang diketemukan (kedaluwarsa) ya yang tahun 2021, ada beberapa ya,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi, Senin (10/10/2022).

Baca juga: Polri: Ada Beberapa Gas Air Mata Kedaluwarsa yang Ditemukan di Stadion Kanjuruhan

Polisi mengaku belum tahu detail jumlah gas air mata yang kedaluwarsa. Perihal tersebut saat ini masih didalami oleh laboratorium forensik.

Dedi pun berdalih, gas air mata yang kedaluwarsa sedianya sudah tidak begitu efektif. Sebab, zat kimia di dalam gas tersebut telah menurun kadarnya.

"Ketika tidak diledakkan di atas maka akan timbul partikel lebih kecil lagi daripada bedak yang dihirup, kemudian kena mata mengakibatkan perih. Jadi kalau sudah expired (kedaluwarsa) justru kadarnya berkurang, kemudian kemampuannya akan menurun,” klaim Dedi.

Baca juga: Komnas HAM: Gas Air Mata Jadi Pemicu Utama Tragedi Kanjuruhan

Tak mematikan?

Polisi juga mengeklaim, gas air mata tidak mematikan meskipun digunakan dalam skala tinggi.

Menurut Dedi, keterangan ini merujuk pada keterangan ahli kimia dan persenjataan sekaligus dosen di Universitas Indonesia dan Universitas Pertahanan, Mas Ayu Elita Hafizah, serta Guru Besar Universitas Udayana sekaligus ahli bidang Oksiologi atau Racun Made Agus Gelgel Wirasuta.

“Beliau (Made Agus Gelgel) menyebutkan bahwa termasuk dari doktor Mas Ayu Elita bahwa gas air mata atau cs ini ya dalam skala tinggi pun tidak mematikan,” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/10/2022).

Dedi menjelaskan, ada 3 jenis gas air mata yang digunakan aparat kepolisian saat tragedi Kanjuruhan. Pertama, gas air mata asap putih atau smoke.

Kemudian, gas air mata yang bersifat sedang yang digunakan untuk mengurai klaster dari jumlah kecil. Lalu, gas air mata dalam tabung merah untuk mengurai massa dalam jumlah yang cukup besar.

Dedi menyebutkan, tidak ada toksin atau racun dalam gas air mata yang bisa mengakibatkan seseorang meninggal dunia.

Baca juga: Detik-detik Rekaman CCTV Kengerian Pintu 13 Kanjuruhan: Korban Tertumpuk, Kehilangan Nyawa

Gas air mata memang bisa menyebabkan mata mengalami iritasi seperti ketika terkena sabun. Namun, itu hanya terjadi beberapa saat dan tidak mengakibatkan kerusakan fatal.

“Semua tingkatan ini saya sekali lagi saya bukan expert, saya hanya bisa mengutip para pakar menyampaikan ya cs atau gas air mata dalam tingkatannya tertinggi pun tidak mematikan,” ujar Dedi.

Dedi juga mengeklaim, berdasarkan penjelasan para ahli dan dokter spesialis, gas air mata bukan menjadi penyebab kematian para korban di Stadion Kanjuruhan.

Menurutnya, penyebab utama jatuhnya ratusan korban adalah karena berdesakan dan kekurangan oksigen.

"Dari penjelasan para ahli dan dokter spesialis yang menangani para korban, baik korban yang meninggal dunia maupun korban yang luka, dari dokter spesialis penyakita dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan juga spesialis penyakit mata, tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen,” klaim Dedi.

"Karena apa? Terjadi berdesak-desakan terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan mengakibatkan kekurangan oksigen di pada pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak,” tuturnya.

Baca juga: Temuan Komnas HAM: Massa di Kanjuruhan Terkendali, tapi Memanas karena Tembakan Gas Air Mata

Pelanggaran

Pernyataan polisi itu berbeda dengan temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan.

Anggota TGIPF Rhenald Kasali mengatakan, tembakkan gas air mata oleh personel Polri dalam tragedi tersebut bersifat mematikan.

Padahal, kata Rhenald, seharusnya polisi cukup menggunakan gas air mata yang kapasitasnya hanya untuk meredam agresivitas massa. Namun, yang terjadi dalam peristiwa Kanjuruhan tidak demikian.

“Jadi (gas air mata) bukan senjata untuk mematikan, tapi senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi (di Kanjuruhan) adalah justru mematikan. Jadi ini tentu harus diperbaiki,” kata Rhenald saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (10/10/2022).

Rhenald mengatakan, korban yang terkena gas air mata awalnya memang tidak merasakan apa-apa. Namun, sehari berikutnya, mata mereka menghitam dan memerah.

Berdasarkan keterangan dokter, perlu waktu kurang lebih satu bulan bagi korban untuk memulihkan mata mereka.

Menurut Rhenald, polisi telah melakukan penyimpangan dan pelanggaran terkait ini, apalagi sejumlah gas air mata ternyata kedaluwarsa.

Dia menyebutkan bahwa posisi kepolisian di Indonesia bukan polisi yang berbasis militer, tetapi kepolisian sipil. Oleh karenanya, seluruh kinerja Polri seharusnya berdasar pada hak asasi manusia (HAM).

“Karena gas air mata itu, ingat ini adalah kalau kepolisian itu adalah sekarang ini bukan military police, bukan polisi yang berbasis militer, tapi ini adalah civilian police. Nah, maka polisi itu ditangankanani oleh kitab HAM,” kata Rhenald.

Lebih lanjut, TGIPF telah membawa sejumlah longsongan gas air mata yang kedaluwarsa untuk diperiksa di laboratorium.

“Salah satu kecurigaan kami adalah kedaluwarsa dan itu sudah dibawa ke lab semuanya diperiksa,” katanya.

Baca juga: Komnas HAM Dalami Gas Air Mata Kedaluwarsa yang Ditembakan Polisi di Kanjuruhan

Berbeda dari kepolisian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga sebelumnya menyatakan, tembakan gas air mata menjadi pemicu utama kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.

Temuan ini didapat setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan langsung ke lokasi dan memeriksa saksi yang selamat dari peristiwa mematikan tersebut.

"Dinamika di lapangan itu pemicu utama adalah memang gas air mata yang menimbulkan kepanikan," kata Komisioner Komnas HAM Bidang Penyelidikan Choirul Anam dalam keterangannya, Senin (10/10/2022).

Anam mengatakan, tembakan gas air mata itu menciptakan kepanikan di kerumunan penonton yang berada di tribun. Akibatnya, penonton berebut untuk keluar dari stadion melalui pintu keluar yang sempit.

"Berdesak-desakan dengan mata yang sakit, dada yang sesak, susah napas dan sebagainya," kata Anam.

(Penulis: Rahel Narda Chaterine, Ahmad Nusrudin Yahya | Editor: Icha Rastika, Bagus Santosa, Novianti Setuningsih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dengan Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dengan Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Nasional
'Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?'

"Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?"

Nasional
Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Nasional
Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Nasional
Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Nasional
Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Nasional
Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: 'Skincare' Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: "Skincare" Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Nasional
Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Nasional
'Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo'

"Jokowi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P Berkoalisi dengan Prabowo"

Nasional
Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Projo Ungkap Kemungkinan Jokowi Akan Gabung Parpol Lain Setelah Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Jokowi Makan Mie Gacoan di NTB, Pesan Mi Level 0

Nasional
Kaum Intelektual Dinilai Tak Punya Keberanian, Justru Jadi Penyokong Kekuasaan Tirani

Kaum Intelektual Dinilai Tak Punya Keberanian, Justru Jadi Penyokong Kekuasaan Tirani

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com