Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

DPR Melucuti Kemerdekaan Hakim

Kompas.com - 05/10/2022, 10:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kategori pemberhentian pun tidak jelas, apakah pemberhentian terhormat atau tidak dengan terhormat.

Semua kesimpangsiuran, menurut saya, dapat merusak nama baik Aswanto sebagai individu. Sebab, secara hukum dia masih menjabat sebagai hakim dan menurut UU akan menjabat sampai 2029.

Selain merusak martabatnya, pemberhentian Aswanto juga menjadi preseden buruk bagi MK sebagai lembaga negara yang independen dan merdeka.

Tata cara penggantian hakim

Seorang calon hakim konstitusi baru dapat diangkat menjadi hakim apabila sudah menjalani uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh DPR.

Sementara penunjukkan Guntur Hamzah sebagai hakim dilakukan tanpa melakukan fit and proper test seperti yang biasa dilakukan. Proses penunjukkan Guntur Hamzah itu tertutup dari penilaian publik.

Mengenai proses pencalonan hakim Konstitusi, UU MK mengatur dalam Pasal 19 bahwa "Pencalonan Hakim Konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif".

Artinya setiap orang yang diangkat menjadi hakim harus melewati proses tahapan seleksi dan uji kelayakan secara transparan dan mendapatkan masukan dari masyarakat. Pastisipasi dan transparansi ini penting untuk menguji integritas seorang hakim.

Namun dalam kasus pengangkatan Guntur Hamzah, tidak ada transparansi dan partisipasi, semua terjadi secara tiba-tiba, sehingga terkesan pengangkatannya dipaksakan menurut kehendak politik DPR.

Benar, bahwa DPR memiliki kewenangan untuk mengajukan tiga orang calon Hakim MK. Sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: "Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden".

Kata "oleh" tersebut dimaknai sebagai perekrutan, bukan "dari" yang bermakna dari dalam DPR. Artinya DPR hanya merekrut calon Hakim MK dengan kriteria sebagaimana yang disebutkan oleh UUD dan UU MK. Tidak lebih dari itu.

Salah kaprah menyebutkan bahwa Hakim MK adalah direksi yang ditunjuk oleh owner (DPR) untuk taat pada keputusan DPR, sebagaimana dalam pernyataan Ketua Komisi Hukum DPR Bambang Wuryanto.

Menempatkan Hakim MK sebagai "perpanjangan tangan" DPR bukan hanya menghilangkan independensi Hakim, tetapi juga menghilangkan independensi pengadilan (Independent of Judiciary).

Gagal membaca Surat MK

Surat yang dikirim MK ke DPR seharusnya tidak berujung pada pemberhentian hakim. Surat tersebut bukan untuk menggodok ulang hakim yang direkrut oleh DPR, tetapi pemberitahuan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 mengenai masa jabatan hakim konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

MK ingin DPR tahu bahwa putusan Nomor 96/PUU-XVIII/2020 terkait uji materi Pasal 87 huruf a dan b UU MK yang diajukan advokat Priyanto.

MK telah mengabulkan sebagian uji materi tersebut, yakni mengabulkan uji materi Pasal 87 huruf a yang mengatur jabatan ketua dan wakil ketua MK.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com