Salin Artikel

DPR Melucuti Kemerdekaan Hakim

Sebagian Fraksi mengira, tanggal 29 September 2022 itu, hanya sekadar rapat konsultasi sebagaimana biasanya. Fraksi PKS, misalnya, tidak mengetahui mengenai ihwal rapat Komisi Hukum DPR itu.

Setelah rapat internal komisi Hukum dilakukan tanggal 29 September, pada hari itu juga hasil rapat komisi dibawa ke Paripurna untuk diputuskan bersama oleh DPR. Terasa ada kejanggalan dan terkesan sangat tertutup.

DPR tidak berwenang memberhentikan hakim

Pemberhentian Aswanto dari Hakim Mahkamah Konstitusi oleh DPR secara hukum tidak ada dasarnya. Prosedur pemberhentian Hakim MK jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 Perubahan Ketiga Undang Undang Mahkamah Konstitusi.

Menurut ketentuan pasal 23 UU MK, hakim MK diberhentikan dengan terhormat dan dengan tidak dengan terhormat.

Dalam ayat (1) UU MK disebutkan pemberhentian dengan terhormat baru dapat dilakukan dengan alasan: (1) meninggal dunia; (2) mengundurkan diri; (3) berusia 70 tahun; (4) sakit jasmani atau rohani selama 3 bulan berturut-turut.

Untuk pemberhentian dengan tidak terhormat dalam ayat (2) dilakukan dengan alasan: (1) telah diputus bersalah oleh pengadilan kerena melakukan tindakan pidana; (2) melakukan perbuatan tercela; (3) tidak menghadiri sidang selama 5 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; (4) melanggar sumpah dan janji jabatan; (5) menghambat MK mengeluarkan putusan; (6) melanggar larangan rangkap jabatan; (7) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Hakim MK, dan (8) melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Sejauh mengenai ketentuan pasal 23 UU MK tersebut, pemberhentian Aswanto tidak berdasarkan Hukum.

Pemberhentian hakim hanya dapat dilakukan dengan melewati sidang etik di Mahkamah Konstitusi, baru kemudian Ketua Mahkamah Konstitusi bersurat ke Presiden untuk mendapatkan surat keputusan Presiden.

Artinya surat yang diajukan DPR untuk penggantian Aswanto ke Presiden tidak memenuhi ketentuan Pasal 24 UU MK.

Alasan tersebut secara hukum sangat mengada-ada. Hakim MK bukan perpanjangan tangan DPR, sehingga harus mengamini semua produk legislasi yang dibuat oleh DPR dan Presiden.

Sudah menjadi tugas dan kewenangan Mahkamah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

Setiap Hakim MK dibebani untuk mengembang tanggungjawab melakukan judicial review terhadap produk legislasi itu.

Kalau produk itu bertentangan dengan UUD 1945, maka MK berwenang untuk membatalkan, baik itu sebagaian pasal maupun keseluruhannya dalam UU.

Kategori pemberhentian pun tidak jelas, apakah pemberhentian terhormat atau tidak dengan terhormat.

Semua kesimpangsiuran, menurut saya, dapat merusak nama baik Aswanto sebagai individu. Sebab, secara hukum dia masih menjabat sebagai hakim dan menurut UU akan menjabat sampai 2029.

Selain merusak martabatnya, pemberhentian Aswanto juga menjadi preseden buruk bagi MK sebagai lembaga negara yang independen dan merdeka.

Tata cara penggantian hakim

Seorang calon hakim konstitusi baru dapat diangkat menjadi hakim apabila sudah menjalani uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh DPR.

Sementara penunjukkan Guntur Hamzah sebagai hakim dilakukan tanpa melakukan fit and proper test seperti yang biasa dilakukan. Proses penunjukkan Guntur Hamzah itu tertutup dari penilaian publik.

Mengenai proses pencalonan hakim Konstitusi, UU MK mengatur dalam Pasal 19 bahwa "Pencalonan Hakim Konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif".

Artinya setiap orang yang diangkat menjadi hakim harus melewati proses tahapan seleksi dan uji kelayakan secara transparan dan mendapatkan masukan dari masyarakat. Pastisipasi dan transparansi ini penting untuk menguji integritas seorang hakim.

Namun dalam kasus pengangkatan Guntur Hamzah, tidak ada transparansi dan partisipasi, semua terjadi secara tiba-tiba, sehingga terkesan pengangkatannya dipaksakan menurut kehendak politik DPR.

Benar, bahwa DPR memiliki kewenangan untuk mengajukan tiga orang calon Hakim MK. Sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: "Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden".

Kata "oleh" tersebut dimaknai sebagai perekrutan, bukan "dari" yang bermakna dari dalam DPR. Artinya DPR hanya merekrut calon Hakim MK dengan kriteria sebagaimana yang disebutkan oleh UUD dan UU MK. Tidak lebih dari itu.

Salah kaprah menyebutkan bahwa Hakim MK adalah direksi yang ditunjuk oleh owner (DPR) untuk taat pada keputusan DPR, sebagaimana dalam pernyataan Ketua Komisi Hukum DPR Bambang Wuryanto.

Menempatkan Hakim MK sebagai "perpanjangan tangan" DPR bukan hanya menghilangkan independensi Hakim, tetapi juga menghilangkan independensi pengadilan (Independent of Judiciary).

Gagal membaca Surat MK

Surat yang dikirim MK ke DPR seharusnya tidak berujung pada pemberhentian hakim. Surat tersebut bukan untuk menggodok ulang hakim yang direkrut oleh DPR, tetapi pemberitahuan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 mengenai masa jabatan hakim konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

MK ingin DPR tahu bahwa putusan Nomor 96/PUU-XVIII/2020 terkait uji materi Pasal 87 huruf a dan b UU MK yang diajukan advokat Priyanto.

MK telah mengabulkan sebagian uji materi tersebut, yakni mengabulkan uji materi Pasal 87 huruf a yang mengatur jabatan ketua dan wakil ketua MK.

Sementara Pasal 87 huruf b mengenai periodisasi atau masa jabatan hakim konstitusi, tidak dikabulkan oleh MK.

Pasal 87 huruf b menyebutkan, "Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat undang-undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut undang-undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.

Dengan putusan tersebut, hakim MK tidak lagi dipilih berdasarkan periodesasi lima tahun sebagaimana yang dipraktikkan sebelum perubahan ketiga UU MK.

Surat yang dikirim hanya mengandung arti hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi, menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul, yakni DPR, presiden, dan MA.

Dari kesalapahaman inilah yang membuat DPR berpikir bahwa Hakim MK Aswanto diberhentikan. Sementara kewenangan DPR bukan memberhentikan hakim MK, melainkan menyeleksi calon hakim MK. Pemberhentian hakim MK harus berdasarkan UU MK.

Karena itu, kita berharap Presiden Joko Widodo tidak mengeluarkan surat Keputusan Penggantian Aswanto dari Hakim konstitusi.

Kalau seandainya Presiden mengeluarkan, secara administrasi bisa digugat lewat Tata Usaha Negara dan potensial dibatalkan oleh pengadilan karena bertentangan dan ketentuan yang berlaku dalam UU MK.

https://nasional.kompas.com/read/2022/10/05/10480371/dpr-melucuti-kemerdekaan-hakim

Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke